DIKSIMERDEKA.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti laporan dugaan suap 95 senator terkait pemilihan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2024–2029. Saat ini laporan di proses di Direktorat Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat (PLPM) KPK.

“DPD ya? DPD sekarang tahapannya sedang diverifikasi dan divalidasi oleh Tim PLPM. Harapannya proses itu bisa ditentukan apakah jadi kewenangan KPK,” kata Ketua KPK, Setyo Budiyanto saat dikonfirmasi, Jumat (21/2/2025).

Verifikasi laporan tersebut dibutuhkan untuk mengetahui bisa dilanjutkan atau tidak. Jika lolos tahap verifikasi, laporan tersebut nantinya akan dilanjutkan ke tahap penyelidikan sebelum diputuskan ke tingkat penyidikan.

“Kemudian apakah menyangkut penyelenggara negara, (hasil verifikasi) itu kemudian dipresentasikan apakah bisa ditingkatkan ke tahap selanjutnya,” kata Setyo.

Dalam laporan yang masuk ke KPK, disebut bahwa 95 senator diduga terlibat proses suap pemilihan ketua DPD RI. Aliran uang disinyalir masuk ke kantong mereka. KPK membuka peluang untuk memanggil para senator yang terlapor tersebut untuk diklarifikasi.

“Iya nanti kan mengarah seperti itu (klarifikasi), yang mengetahui atau bahkan mengalami secara langsung, mendengar, nah itu pasti dibutuhkan oleh para tim penyelidik dan dumas,” katanya.

Baca juga :  KPK Tegaskan Tidak Ada Kriminalisasi Terhadap Lukas Enembe

Setyo menegaskan pihaknya tidak pandang bulu. Kendati ditengarai melibatkan 95 senator, KPK memastikan setiap orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.

“Kami menempatkan semua perkara tentunya sama. Kalau misalnya tahapan verifikasi dan validasi itu yg dilakukan dumas akurat, ya kami juga memastikan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum,” ujar Setyo.

Diketahui sebelumnya, sebanyak 95 Anggota DPD RI dilaporkan ke KPK karena diduga menerima suap terkait pemilihan ketua mereka di parlemen. Salah satu yang diduga menerima suap yakni Anggota DPD RI asal Sulawesi Tengah (Sulteng) Rafiq Al-Amri (RAA).

Dugaan penerimaan suap massal tersebut dilaporkan oleh mantan Staf Ahli Rafiq Al-Amri, M Fithrat Irfan, pada 6 Desember 2024. Fithrat kemudian didampingi kuasa hukumnya, Aziz Yanuar kembali mendatangi lembaga antirasuah pada Selasa (18/2/2025) untuk menyerahkan bukti tambahan.

“Tanggal 6 Desember itu saya melaporkan salah satu anggota DPD RI asal Sulawesi Tengah inisial RAA Rafiq Al-Amri. Indikasinya itu beliau menerima dugaan suap dari untuk kompetisi pemilihan Ketua DPD RI dan Wakil Ketua MPR RI unsur DPD,” kata Fithrat, Selasa (18/2/2025).

Baca juga :  Perkara Korupsi BTS, Kejagung Tahan Menkominfo Johnny Plate

“Itu melibatkan 95 orang yang ada, yang anggota Dewan yang ada di DPD RI dari 152 totalnya,” sambungnya.

Fithrat membeberkan, uang yang diterima Rafiq Al-Amri dan senator lainnya masing-masing sejumlah 13.000 dollar AS. Adapun, uang sekira 5.000 dollar AS tersebut diduga diterima untuk pemilihan Ketua DPD. Kemudian, sekira 8.000 dollar AS untuk pemilihan Ketua MPR RI.

“Jadi untuk Ketua DPD RI itu ada nominal 5.000 dolar Amerika Serikat per orang. Dan untuk Wakil Ketua MPR itu ada 8.000 dolar Amerika Serikat. Jadi ada 13.000 (dolar AS) total yang diterima oleh bos saya, itu saudara RAA,” jelas Fithrat.

Sementara itu, Aziz Yanuar mengungkapkan bahwa kliennya telah menyerahkan bukti-bukti tambahan ke KPK untuk melengkapi alat bukti yang sebelumnya sudah diserahkan. Bukti tersebut berupa rekaman pembicaraan antara Fithrat dengan seorang petinggi partai politik.

“KPK dalam waktu dekat akan melanjutkan proses ini kepada pemeriksaan lebih lanjut kepada pihak-pihak yang terkait, baik itu dari anggota DPD ataupun pihak-pihak yang ada hubungan dengan pelaporan tersebut,” kata Aziz saat mendampingi kliennya, Fithrat.

Aziz mengatakan, adanya bukti rekaman suara itu menguatkan dugaan bahwa gratifikasi tidak hanya melibatkan anggota DPD tetapi juga petinggi partai politik. Aziz menyebut kliennya sempat mendapat intimidasi serta ancaman supaya menghentikan laporan ini.

Baca juga :  Wakil Ketua KPK: Keterbukaan Informasi Cegah Korupsi Pemerintahan

“Proses gratifikasi itu melibatkan beberapa pihak dan juga dalam hal tersebut ada dana-dana yang disediakan. Kemudian juga pihak tersebut meminta Pak Irvan (Fithrat) untuk tidak melanjutkan hal ini. Ada intimidasi dan dugaan ancaman,” ucap Aziz.

Lebih lanjut, kata Fithrat, mekanisme penyerahan uang tersebut dilakukan secara door to door atau dari kamar ke kamar anggota Dewan. Distribusi uang tersebut disebutnya diserahkan secara langsung.

“Jadi dari dolar ke rupiah konversinya. Setelah itu masing-masing dari kita, para staf ini diminta untuk setorkan di bank anggota dewan itu,” ujar Fithrat.

Fithrat menjelaskan uang tersebut digunakan untuk menukar suara dalam pemilihan ketua DPD dan wakil ketua MPR dari unsur DPD. Senator yang menerima uang tersebut kemudian memilih pasangan calon tertentu.

“Uang itu ditukarkan dengan suara hak mereka-mereka untuk memilih salah satu dari pasangan calon ini, memilih Ketua DPD dan Wakil Ketua MPR dari unsur DPD,” kata dia.

Editor: Agus Pebriana