Tanah Bali di Balik ‘Tabir’ Nominee: Modus ‘Notaris Nakal’ Bantu WNA Akali Hukum
DIKSIMERDEKA.COM, DENPASAR, BALI – Maraknya kasus perjanjian Atas Nama (Nominee Agreement) orang asing (WNA) menguasai tanah dengan memakai nama warga lokal (WNI) di Indonesia, terutama di Bali diduga kuat tidak lepas dari keterlibatan oknum-oknum notaris ‘nakal’ yang memuluskan praktik penyelundupan hukum ini.
Pasalnya, praktik ‘memgakali hukum’ ini terjadi, dan difasilitasi dengan produk-produk yang dikeluarkan oleh notaris seperti surat/akta perjanjian, sehingga WNA seolah-olah memiliki alas hak untuk menguasi sumber daya tanah yang ada di negeri kita tetcinta ini.
Padahal, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 telah jelas melarang adanya perjanjian Atas Nama (nominee) dan tegas melarang WNA memiliki tanah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Adanya nominee ini, secara tidak langsung, hukum di NKRI ini telah dikangkangi, ekonomi kita dikuasai dan rakyat kita dizolimi. Karena, secara de jure (hukum) memang terlihat dimiliki WNI, namun secara de facto (faktanya) dikuasai dan dinikmati manfaatnya oleh WNA.
Namun sayangnya, sampai saat ini Negara masih bergeming, belum terlihat ada upaya mengatasi kondisi ini. Negara seolah ‘loyo’ menghadapi kewibawaan hukumnya ‘diperkosa’ oleh orang asing. Negara seolah-olah ‘buta’ tidak dapat melihat ‘gajah yang ada di pelupuk mata’.
I Wayan Sudarsa, S.H, M.M, pengacara Basudewa Law Firm, Denpasar yang pernah menangani dan memenangkan kasus nominee mengungkapkan, setidaknya ada tiga modus dan produk hukum yang diseludupkan pihak oknum notaris dalam kasus nominee ini.
“Modusnya macam-macam, setidaknya ada 3 yang saya temukan. Yakni ada yang dibuatkan perjanjian sewa-menyewa, dan hutang-piutang dan pembebanan hak tanggungan,” ungkapnya.
Perjanjian-perjanjian tersebut, terangnya, dituangkan dalam bentuk akta. Misalnya, dibuatkan perjanjian sewa-menyewa selama 100 tahun, yang mana perjanjian itu kemudian yang dijadikan alas hak oleh si-WNA untuk menguasai tanah yang menjadi objek dalam perjanjian tersebut.
Kemudian yang kedua, sambungnya, dengan dibuat perjanjian hutang-piutang. Dibuatkan akta pengakuan hutang dengan jaminan sertifikat tanah tersebut. Dan yang ketiga, dibuatkan akta untuk membebani hak tanggungan di BPN.
“Jadi dibebankan hak tanggungan dia, di warkahnya (BPN) kelihatan itu, di hipotik nya. Artinya WNI yang menjadi atas nama dari tanah itu sudah tidak bisa lagi ngapa-ngapain terhadap tanah itu. Jadi di sinilah, dalam tanda kutip, oknum notarisnya itu nakal,” sebutnya.
“Jadi tiga hukum inilah yang dipakai modusnya untuk menguasai secara total tanah itu,” imbuhnya.
Sementara itu, terkait kemungkinan oknum notaris tersebut dapat terseret pidana ke pengadilan, Wayan Sudarsa mengatakan hal itu memungkinkan terjadi, karena ada unsur penipuan di dalamnya, dan oknum notaris tersebut ikut serta menyelundupkannya.
“Karena notaris itu meng-issue atau menerbitkan akta sehingga si WNA, secara tidak langsung, dapat menguasai aset tanah tersebut,” paparnya.
Namun terlepas dari itu, pada prinsipnya, ia menegaskan bahwa dalam kasus perjanjian nominee ini, semua produk perjanjian yang dibuat dan dikeluarkan oleh notaris dapat dibatalkan demi hukum.
“Seperti pengalaman saya menangani kasus nominee, dengan objek tanah seluas 24 are, di Kemenuh, Gianyar pada tahun 2016 dengan warga negara Amerika dimana Pengadilan total mengabulkan semua tuntutan. Semua akta-akta yang ada, yang dibuat notaris, semua dibatalkan. Tanah tersebut akhirnya dikembalikan, sepenuhnya dimiliki oleh WNI yang menjadi atas nama,” tandasnya. (Tim)
Tinggalkan Balasan