Isu Hukum dan Kepercayaan Publik Terhadap Danantara
Oleh: Dewa Putu Adi Wibawa, S.H.
Presiden Prabowo secara resmi meluncurkan Danantara pada 24 Februari 2025 di halaman Istana Kepresidenan Jakarta. Peluncuran ini dilakukan berdasarkan pada UU No.1 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU No.19 Rahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Danantara sendiri merupakan akronim dari Daya Anagata Nusantara. Secara etimologis, berdasarkan keterangan Presiden, Daya berarti energi atau kekuatan, Anagata berarti masa depan, dan Nusantara mengacu pada tanah air Indonesia. Karenanya Danantara secara filosofis merefleksikan kehendak untuk meningkatkan kekuatan ekonomi yang akan menjadi energi masa depan Indonesia. Danantara diharapkan dapat berfungsi sebagai Badan Pengelola Investasi (BPI) yang memiliki tugas melakukan konsolidasi atas berbagai aset pemerintah dan BUMN guna menciptakan efisiensi dan mengoptimalkan investasi nasional.
Pembentukan Danantara sendiri dalam klaim pemerintah dilatari oleh kebutuhan untuk mengoptimalkan pengelolaan aset negara dan meningkatkan efisiensi investasi nasional. Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo memandang perlu adanya sebuah badan yang dapat mengonsolidasikan berbagai aset pemerintah dan BUMN agar pengelolaan investasi menjadi lebih efisien. Adapun tugas pokok dan wewenang Danantara menurut Pasal 3E Ayat 1 UU No.1 Tahun 2025 adalah sebagai berikut: 1) mengelola dividen dari holding investasi, holding operasional, BUMN; 2) berwenang juga memberi persetujuan pada usulan penambahan dan/atau pengurangan penyertaan modal pada BUMN; 3) memberi persetujuan pada usulan restrukturisasi BUMN, termasuk penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan; 4) membentuk holding investasi, holding operasional, dan BUMN; 5) memberi persetujuan atas usulan penghapusan tagihan atas aset BUMN yang diusulkan oleh holding investasi atau holding operasional; dan 6) mengesahkan dan mengonsultasikan kepada DPR yang membidangi BUMN atas Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) perusahaan holding investasi dan holding operasional (rri.co.id, 2025).
Danantara memiliki wewenang untuk mengelola aset negara senilai lebih dari USD 900 miliar atau sekitar Rp 14.000 triliun dan mendanai berbagai proyek strategis pada sektor-sektor yang ditentukan. Modal Danantara sendiri ditetapkan paling sedikit Rp 1000 triliun. Presiden Prabowo dalam puncak perayaan HUT ke-17 Partai Gerindra menyatakan bahwa Danantara akan memperoleh suntikan modal hingga Rp 300 triliun lebih dari hasil efisiensi anggaran tahun 2025. Adapun sumber permodalan Danantara berasal dari penyertaan modal negara dan sumber lain. Penyertaan modal negara dapat berasal dari dana tunai, pemberian barang milik negara, dan kepemilikan saham negara pada BUMN (Emiten.com, 2025).
Besarnya wewenang dan dana yang dikelola, membuat Danantara memperoleh perhatian publik yang besar, terutama keterkaitannya dengan isu hukum. Isu hukum yang dimaksud salah satunya adalah keterlibatan Burhanuddin Abdullah yang mengisi posisi sebagai Ketua Tim Pakar dan Muliaman Hadad sebagai Wakil Ketua Dewan Pengawas Danantara. Dua orang ini pernah bermasalah dengan hukum. Burhanuddin Abdullah pernah menjadi terpidana kasus korupsi serta dipenjara selama 5 tahun dan denda Rp 250 juta. Kasus yang membelit Burhanuddin Abdullah bermula dari pengambilan keputusan Dewan Gubernur Bank Indonesia, di mana ia adalah Gubernur Bank Indonesia saat itu. Pengambilan keputusan yang dimaksud adalah persetujuan untuk mencairkan dana Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (YLPPI) sebesar Rp 100 miliar. Dana sebesar itu digunakan untuk bantuan hukum lima mantan Pejabat BI sebesar Rp 68,5 miliar. Sementara sisanya disalurkan ke anggota DPR untuk membiayai proses amandemen UU BI. Hakim berpandangan seharusnya Burhanuddin dapat menolak pencairan dana tersebut, namun tidak ia lakukan (Kompas.com, 2025).
Sedangkan Muliaman Hadad pernah diperiksa secara intensif oleh KPK dalam kasus skandal Bank Century yang merugikan negara hingga Rp 6,7 triliun. Meskipun tidak dijatuhi pidana pada saat itu, keterlibatannya dalam pengambilan keputusan bailout dianggap sebagai gagalnya pengawasan. Kasus berikutnya terkait dengan Skandal Jiwasraya, di mana Hadad dipandang gagal melakukan pengawasan terhadap PT Asuransi Jiwasraya yang mengalami kerugian hingga Rp 16 triliun. Skandal ini menimbulkan kerugian besar bagi nasabah dan rusaknya kepercayaan publik terhadap industri asuransi (Metrotvnews.com, 2025).
Kedua orang tersebut sebenarnya memiliki rekam jejak yang panjang di dunia ekonomi dan keuangan Indonesia. Meskipun memiliki pengalaman dan keahlian, rekam jejak hukum keduanya tidak dapat diremehkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kredibilitas dan integritas. Publik mempertanyakan kelayakan keduanya memegang posisi strategis di Danantara. Persoalan ini akan memberi pengaruh buruk bagi legitimasi Danantara sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pengelolaan dana publik. Penunjukan mantan terpidana korupsi dianggap sebagai sebuah langkah mundur dalam usaha memerangi korupsi dan meningkatkan tata kelola yang baik (good governance). Hal ini dapat dianggap memberi pesan bahwa pelanggaran hukum tidak menghalangi pelakunya untuk dapat kembali memegang posisi strategis.
Isu hukum berikutnya terkait dengan persoalan mekanisme pengawasan Danantara. Badan ini diketahui mengelola dana sangat besar yang melibatkan pula dana publik. Pengawasan Danantara dibagi ke dalam dua mekanisme, yaitu mekanisme pengawasan internal dan eksternal. Mekanisme pengawasan internal dilakukan oleh Dewan Pengawas Danantara yang diketuai oleh Erick Thohir dengan Muliaman Hadad sebagai wakilnya (Tempo.co, 2025). Tugas pokoknya adalah mengawasi kinerja Badan Pelaksana Danantara, termasuk dalam pengelolaan aset, ivestasi, dan kepatuhan terhadap peraturan. Secara praktis, penunjukan keduanya sebagai ketua dan wakil ketua Dewan Pengawas memiliki kemungkinan kekuatan dan kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi Erick Tohir yang mengisi ketua Dewas Danantara sekaligus Menteri BUMN dapat memastikan pengoperasian Danantara sesuai dengan kebijakan pemerintah. Namun kelemahannya ada kemungkinan terjadi konflik kepentingan antara Menteri BUMN sebagai regulator BUMN dengan Danantara yang mengelola aset BUMN. Hal ini berpotensi mengurangi independensi pengawasan. Kelemahan lainnya terletak pada status Muliaman Hadad yang dianggap bermasalah sebagaimana telah dijelaskan di atas. Ia dianggap gagal dalam melakukan pengawasan dalam kasus Bank Century dan Jiwasraya. Dampaknya berpotensi menimbulkan keraguan publik pada kemampuan untuk memaksimalkan Dewan Pengawas Danantara sebagai instrumen utama mekanisme pengawasan internal.
Sedangkan mekanisme eksternal dilakukan melalui proses audit oleh akuntan publik. Laporan keuangan Danantara akan diaudit oleh akuntan publik yang ditetapkan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk perusahaan persero atau oleh Menteri untuk perusahaan umum. Kelebihan audit yang dilakukan akuntan publik adalah kemampuannya dalam memastikan transparansi dan akuntabilitas keuangan Danantara. Namun, kelemahannya, akuntan publik mungkin saja tidak memiliki kewenangan untuk secara khusus mengungkap praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Peran akuntan publik dalam pemberantasan korupsi dan pengawasan secara umum akan menguat bila ada indikasi kuat dalam laporan keuangan.
Apa yang mengejutkan justru peran BPK dan BPKP diminimalisasi hingga hanya dapat memeriksa Danantara bila ada permintaan dari DPR atau untuk tujuan tertentu. DPR sendiri dalam fungsi kontrolnya memiliki kewenangan untuk meminta BPK atau BPKP melakukan audit terhadap Danantara. DPR juga berhak untuk meminta laporan dan pertanggungjawaban dari Danantara. Namun secara praktis saat ini DPR dikendalikan oleh partai-partai pendukung pemerintah. Kondisi ini menyulitkan DPR memenuhi fungsi idealnya dalam melakukan pengawasan. Demikian pula halnya dengan kebergantungan BPK dan BPKP pada DPR dalam melakukan pemeriksaan atas Danantara. Sementara itu KPK hanya dapat bergerak bila ada laporan atau indikasi korupsi. Artinya tindakan pencegahan korupsi melalui mekanisme pengawasan tergolong lemah.
Meskipun Presiden Prabowo telah menggandeng mantan Presiden SBY dan Joko Widodo sebagai bagian dari Danantara, mengajak pula keterlibatan tokoh-tokoh nasional dan organisasi masyarakat guna membangun kepercayaan publik, namun hal itu sulit dilakukan karena isu hukum yang terkait dengan Danantara. Isu hukum pertama adalah adanya keterlibatan mantan terpidana korupsi dan individu bermasalah dengan hukum dalam jajaran struktur organisasi Danantara. Selanjutnya mekanisme pengawasan yang dinilai lemah. Hal ini yang berdampak pada lemahnya kepercayaan publik pada Danantara. Tidak mengherankan jika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan setelah peluncuran Danantara. Hal ini dapat saja mengindikasikan tingkat keyakinan investor pada pengelolaan dan dampak jangka panjang Danantara.
Tinggalkan Balasan