Pecalang Sidak TPA Suwung, Kelian: Pemerintah Jangan ‘Menabuh Genderang Perang’
DIKSIMERDEKA.COM, DENPASAR, BALI – Kelian Banjar Adat Pesanggaran, Desa Adat Pedungan dan Banjar Adat Batan Kendal, Desa Adat Sesetan bersama aparat pecalang dan warganya kembali turun untuk menertibkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di TPA Suwung.
Dalam inspeksi mendadak (Sidak) yang dilakukan Minggu (24/11) itu nampak sejumlah truk dihentikan dan diperiksa, yang tidak memiliki dan melanggar surat rekomendasi pembuangan sampah, dengan tegas dilarang masuk dan disuruh membawa keluar lagi sampahnya.
Kelian Banjar Adat Pesanggaran, I Wayan Widiada SH., MH., yang memimpin sidak ini mengatakan bahwa apa yang dilakukan pihaknya ini adalah sebagai bentuk class action (gerakan rakyat) atas kelambanan pemerintah bertindak menyelesaikan permasalahan di TPA Suwung.
Sebagai warga yang paling terdampak dengan keberadaan TPA Suwung, Wayan Widiada mengatakan warga dua banjar tersebut sudah ‘muak’ dengan retorika dan janji-janji aparat pemerintah dan penegak hukumnya.
“Hari ini (Minggu, 24/11, red) kami melakukan sidak, karena masyarakat kedua Banjar ini yang paling terdampak oleh keberadaan TPA ini. Warga kami sudah muak, dari tahun 1985 sampai sekarang tidak hanya tumpukan sampah saja yang kami dapatkan tapi juga tumpukan janji,” ujarnya geram.
“Saya tidak habis pikir, sampah ini sudah menjadi masalah darurat, tapi bisa-bisanya para pejabat itu terus saja saling lempar tanggung jawab dengan beropini di media. Hentikan semua Wacana dan kebohongan itu,” tegas Widiada.
Widiada juga menegaskan, sidak ini dilakukan untuk memastikan dan mengajak masyarakat melihat langsung. Upaya apa yang sudah dilakukan oleh pengelola untuk memperpanjang daya tampung karena secara teknis TPA sdh overload.
Ini juga untuk mengantisipasi musim hujan yang sudah semakin dekat. Dan yang paling penting untuk memastikan keseriusan pengelola menangani darurat sampah dalam jangka pendek sembari menunggu proses pabrikasi yang diwacanakan pemerintah.
Dan sekaligus mengungkap apa sebenar yang terjadi. Dalam sidak kali ini, menurutnya ada beberapa hal yang sangat mengejutkan di temukan di lapangan. Ia menyesalkan ketersediaan sarana dan prasarana alat berat seperti excavator dan alat pendukung lain sudah sangat minim rusak lagi.
Selain itu, sarana untuk antisipasi bila terjadi kebakaran sangat memprihatinkan dan juga yang tidak kalah penting menurutnya adalah adalah standar operasional prosedur (SOP) yang tidak berjalan. Sejak pagi truk-truk pengangkut sampah sudah hilir mudik membuang sampah, seharusnya ada petugas yang mencatat dan memeriksa kesesuaian truk-truk tersebut.
Seperti diketahui, pasca penutupan TPA Suwung yang dilakukan pecalang dan warga pada 28 Oktober 2019 lalu bahwa kesepakatan jangka pendek yang dilakukan adala pembatasan pembuangan sampah ke TPA Suwung dan memaksimalkan pengelolaan TPA dan TPS di masing-masing kabupaten.
Berdasarkan kesepakatan itu saat ini hanya wilayah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung saja yang diperbolehkan membuang sampah ke TPA Suwung, itu pun sampah yang berasal dari Kabupaten Badung hanya dibatasi maksimal 15 truk per harinya, dan hanya boleh sampai batas waktu tanggal 30 November 2019.
“Dan yang sangat tidak kalah mengejutkan lagi SOP sudah jelas tidak berjalan Kehadiran para pejabat juga nyaris tidak tampak. Bagaimana mau bikin perencanaan pengolahannya, kalau ke lapangan saja tidak pernah. Dalam situasi darurat sampah begini masih saja ngadem di belakang meja di ruangan ber-AC,” ujarnya.
Jika kondisi ini terus berlarut-larut, ia pun mengingatkan bahwa warga bisa mengambil tindakan paling ekstrim yakni menutup kawasan TPA Suwung secara permanen. “Kalau begini faktanya dan tidak ada upaya serius dalam pengelolaan jangka pendek jangan salahkan masyarakat melakukan class action untuk menutup TPA secara permanen,” tegasnya lagi.
Wayan Widiada juga menegaskan pihaknya tidak akan tinggal diam, meski justru didiskreditkan atas tindakan penertiban yang dilakukan pihaknya. Ia mengatakan apa yang dilakukan pecalang dan warganya ini adalah bentuk sudah tidak lagi sepenuhnya percaya baik dengan aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) maupun pemerintah.
“Kenapa pecalang yang bertindak, karena kalau ke Satpol PP (melapor, red) itu sudah berkali-kali, ini bukan satu kali terjadi, berkali-kali saya katakan. Jadi ini terlihat seperti pembiaran. Jadi ada apa ini seperti ini. Apa mau dibiarkan seperti ini terus,” ujarnya.
“Pecalang ini kan juga aparat penegak hukum yang dibentuk berdasarkan Perda. Fungsinya berdasarkan tri hita karana. Ada palemahan (lingkungan), pawongan (warga), dan parahyangan (Tuhan). Kalau ada pelanggaran mengenai kependudukan tentu akan kita serahkan ke aparat hukum yang berwenang. Tapi kami kan wajib menjaga wilayah palemahan kami,” uangkapnya.
“Ini semua karena kami sudah muak dengan kebohongan dan lambannya pemerintah menangani masalah ini sudah sangat merugikan masyarakat yang kena dampak. Dari faktor kesehatan faktor ekonomi dan dampak yang lebih luas pada dunia pariwisata. Ini adalah semua kegagalan dari pemerintah sudah bencana kok masih sibuk menghindar dari tanggung jawab dan jualan opini di media,” pungkasnya lagi.
Meskipun kerap didiskreditkan karena apa yang dilakukan bukan kewenangannya, Wayan Widiada mengaku akan tetap membela wilayahnya dan memperjuangkan aspirasi warganya. Sekalipun nantinya diancam pidana seperti yang terjadi dengan pecalang dan kelian Banjar Adat Sakah, Desa Adat Kepaon, Pemogan yang dilaporkan polisi karena menegakkan perda di wilayahnya, ia mengaku tidak akan gentar.
“Sekarang kalau pelanggaran itu dibiarkan, masyarakat menjadi merasa resah, terganggu keseimbangannya dan kenyamanannya dan tidak ada tempat lagi yang dipercaya, karena aparat-aparat yang diberi amanah dan kewenangan yang dipercayakan kepada mereka tidak bisa dipercaya lagi, maka seperti itulah jadinya. Kemudian kalau itu dipermasalahkan dan dilaporkan ke polisi, itu kriminalisasi namanya,” paparnya.
“Ini juga terjadi di wilayah kami makanya kami melakukan ini (sidak, red). Kalau pemerintah membiarkan apa yang terjadi di Pemogan (pecalang dan kelian dikriminalisasi, red) itu terjadi di sini, bukan hanya banjar adat tapi desa adat kami juga akan turun. Itu namanya pemerintah ‘menabuh genderang perang’ dengan warganya, dan ini akan berdampak lebih buruk lagi, udahlah, kan class action jadinya,” tandasnya. (Tim).
Tinggalkan Balasan