DIKSIMERDEKA.COM – Hakim Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia, I Gusti Agung Sumanatha mengatakan bahwa transaksi jual beli tanah yang dilakukan dengan perjanjian atas nama atau nominee (perkara pinjam nama dalam kepemilikan properti/tanah oleh orang asing) di Indonesia adalah tindakan ‘penyelundupan hukum’.

Agung Sumanatha menegaskan bahwa kepemilikan hak atas tanah bagi warga negara asing (WNA) hanyalah sebatas hak pakai dan hak sewa bangunan.

Untuk itu, guna melindungi kepentingan warga negara Indonesia dan kepentingan ekonomi Indonesia pada umumnya, MA tidak mengakui praktek perjanjian pinjam nama (nominee agreement) warga negara Indonesia (WNI) sebagai nominee oleh WNA sebagai penerima manfaat (beneficiary) atas tanah/properti di Indonesia.

“Nominee (WNI) menjadi pihak yang tercatat dalam Sertifikat Hak Milik (SHM), namun sebagai legal owner yang hanya dapat bertindak terbatas sesuai dengan perjanjian atau perintah dari beneficiary,” ungkapnya dalam diskusi publik, di Jakarta, Selasa (18/2/2020), dikutip dari Kompas.com.

Baca juga :  Tanah Bali di Balik 'Tabir' Nominee: Modus 'Notaris Nakal' Bantu WNA Akali Hukum

“Sedangkan, beneficiary menjadi pihak yang tak tercatat secara hukum sebagai pemilik tanah namun menikmati setiap keuntungan dan manfaat dari tindakan yang dilakukan nominee. Selain itu, beneficiary juga memiliki kuasa penuh untuk memerintah pihak nominee,” sambungnya.

Sementara itu, penelitian dari Kelompok Kerja Krisis Nominee Indonesia (K3NI) sebelumnya mengungkapkan data mengejutkan. Bahwa diperkirakan ada sebanyak 50 ribu WNA memiliki properti dan tanah di Pulau Bali. Padahal, berdasarkan peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang RI jelas melarang orang asing memiliki tanah di Indonesia.

Baca juga :  Nominee Makin Marak, Negara Makin Rugi: Notaris Terlibat Terancam Bui

“Data kami (K3NI) total ada 10.500 bidang tanah yang dari skala kecil hingga hektaran yang mengalami kasus nominee. Nilainya diperkirakan mencapai 10,4 Milyar US Dollar yang tertanam dalam kasus tersebut, dan jika dirupiahkan bisa mencapai 109,2 triliun,” ungkap Humas K3NI, Susi Johnston di Kuta, Rabu (25/3/2015), dikutip dari Inilah.com.

Ia juga mengungkapkan bahwa kurang lebih ada 7.500 villa yang dikuasai WNA dengan nominee tanpa dasar hukum resmi yang berlaku. Selain itu, untuk sistem tanam modal atau investasi, diperkirakan sebanyak 3000 investasi ilegal yang ditanam di Bali.

Dalam laporan tersebut, Susi mengatakan sebagian temuan tersebut didapatkan setelah berperkara terlebih dahulu di pengadilan. Ia memperkirakan sampai saat itu, ada 140 kasus sengketa tanah yang masih aktif dengan 55 orang pelakunya.

Baca juga :  Miris! WNA Pinjam Nama Kuasai Tanah di Bali, Rugikan Negara Ratusan Triliun

“Oknum tamu yang sudah 20 tahun di Bali, terkadang ikut dalam penjualan tanah yang tanpa didasari bukti yang berkekuatan hukum. Baik itu yang menetap karena alasan bisnis, menikah, kerja dan sebagainya,” akunya.

Susi mengaku sangat prihatin, dengan kurangnya kepastian hukum akan kasus nominee ini. Kondisi ini terangnya, membuat investasi di Bali menjadi tidak kondusif, investor ragu akan kualitas investasi di Bali. Dan, jika krisis nominee ini tidak diselesaikan, ia khawatir ke depan akan semakin banyak kerugian yang dialami negara. (Adhy)