Martabat Perempuan dan Kemanusiaan Dalam Naturalisasi Ala Ahmad Dhani
Oleh: Dewa Putu Adi Wibawa
Anggota Komisi X DPR RI, Ahmad Dhani, tengah berada dalam pusaran kontroversi setelah menyampaikan usulan kontroversial berkenaan dengan naturalisasi pemain sepak bola dalam momen rapat kerja bersama Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan PSSI di Gedung DPR RI, Senayan, pada 5 Maret 2025. Beberapa pihak mengecamnya sebagai pernyataan yang mengandung unsur rasisme, misoginisme, dan patriarkisme. Dalam rapat tersebut Ahmad Dhani mengusulkan agar naturalisasi dilakukan pada pemain asing berusia di atas 40 tahun dan berstatus pensiun. Dengan demikian, naturalisasi tidak hanya dilakukan pada pemain aktif semata. Lebih lanjut anggota DPR RI dari Partai Gerindra tersebut mengusulkan agar pensiunan pemain asing yang telah dinaturalisasi itu dijodohkan dengan perempuan Indonesia. Harapannya anak dari hasil perkawinan antara pensiunan pemain asing hasil naturalisasi dengan perempuan Indonesia itu memiliki bakat bermain sepak bola di masa depan. Lebih jauh lagi, Dhani juga menyinggung peluang poligami dapat dilakukan bila pemain yang dinaturalisasi beragama Islam.
Kecaman langsung datang dari aktivis dan Ketua Komnas Perempuan. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menilai pernyataan Dhani tersebut merendahkan martabat perempuan dengan memposisikannya sebagai mesin reproduksi. Selain itu, pernyataan tersebut dianggap secara potensial melanggar hak asasi perempuan. Demikian pula menurut Christine Constanta dari LBH APIK Jakarta, menilai pernyataan itu mengandung unsur seksisme. Syifana Ayu Maulida, aktivis perempuan, memandang pernyataan tersebut sebagai petunjuk dari pola pikir patriarkis yang memandang perempuan sebagai alat untuk melahirkan keturunan unggul. Olin Monteiro, seorang aktivis feminis, bahkan menanggapi usulan Dhani itu sebagai narasi yang mengandung keharusan pengorbanan kaum perempuan demi kepentingan sepak bola. Tidak hanya dipandang merendahkan kaum perempuan, Ahmad Dhani juga dinilai rasis dalam usulannya agar naturalisasi dilakukan pada pemain yang memiliki ciri fisik mirip dengan orang Indonesia. Sembari menegaskan secara eksplisit agar PSSI mengurangi pemain berambut pirang bermata biru. Pernyataan tersebut dinilai bernada rasial.
Akademisi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Dr. Hastanti Widy Nugroho, S.S., M.Hum, memandang pernyataan Dhani berkarakter misoginis, yakni sikap benci, penghinaan, dan prasangka terhadap perempuan. Perempuan dalam hal ini dimengerti sebatas urusan dapur, sumur, dan kasur (ugm.ac.id, 2025). Secara etimologis, istilah misogini berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “misein” yang berarti membenci dan “gyne”yang berarti perempuan. Secara harfiah sikap misoginis dapat diartikan sebagai sikap membenci perempuan. Kebencian yang dimaksud menurut Kate Manne (2017) dalam bukunya “Down Girl: The Logic of Misogyny” bukan semata kebencian individual atau kebencian terhadap perempuan dalam pengertian harfiah, melainkan terkait dengan mekanisme sosial dalam mempertahankan kekuasaan laki-laki. Dalam konteks pernyataan Dhani, unsur misoginisme muncul dalam prasangka bahwa perempuan Indonesia dapat dijodohkan dengan pensiunan pemain asing hasil naturalisasi untuk melahirkan anak-anak berbakat. Dengan demikian tujuan dari “perjodohan” tersebut adalah menghasilkan anak-anak berbakat. Penekanan pada tujuan itulah yang dinilai menyinggung martabat perempuan karena dijadikan sarana reproduksi.
Secara hukum, usulan Dhani pun bermasalah. Pasal 1 Covention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi melalui UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, mendefinisikan diskriminasi terhadap perempuan sebagai segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat berdasarkan jenis kelamin yang memiliki efek atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan oleh perempuan atas hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya. Pihak Dhani mungkin saja mengelak bahwa tujuannya bukan untuk mendiskriminasi atau bersikap misoginis terhadap perempuan, namun tujuan dari usulannya itu secara tidak langsung dapat diinterpretasi memposisikan perempuan sebagai alat reproduksi anak-anak calon pemain sepak bola. Dengan demikian pernyataan Dhani di atas berpotensi mengarah pada diskriminasi perempuan dalam pengertian Pasal 1 CEDAW.
Sebagaimana kritik Maulida di atas, usulan Dhani memeragakan pola pikir patriarkis. Hal ini terindikasi dari pernyataan tanpa bebannya tentang perempuan dalam kepentingan pemenuhan tujuan menghasilkan anak-anak berbakat. Prasangka “perempuan sebagai sarana pemenuhan tujuan” bertabrakan dengan tujuan dari Pasal 5 CEDAW yang memberi penekanan mengenai arti penting pengubahan pola pikir sosial dan budaya yang didasarkan pada stereotip gender. Stereotifikasi yang dimaksud dalam konteks ini adalah stereotif gender perempuan sebagai bagian dari sarana pemenuhan tujuan melalui fungsi reproduksi.
Selanjutnya, pernyataan Dhani mengenai poligami juga bermasalah secara hukum. Namun, sebelum jauh menganalisis letak permasalahannya, perlu diperjelas pengertian dari poligami itu sendiri. Poligami dapat diartikan sebagai praktik perkawinan di mana seseorang memiliki lebih dari satu pasangan secara bersamaan. Dengan kata lain, poligami merupakan pengertian umum dari perkawinan yang melibatkan seseorang yang mengawini lebih dari seorang dalam waktu bersamaan. Sedangkan praktik seorang laki-laki mengawini lebih dari satu perempuan disebut poligini. Dengan demikian Dhani dalam pernyataannya mengaitkan pula usulannya dengan kemungkinan praktik poligini yang dapat dilakukan oleh pensiunan pemain hasil naturalisasi.
Sementara itu, Pasal 3 Ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa aturan perkawinan di Indonesia berasas prinsip monogami atau seorang laki-laki hanya boleh memiliki seorang istri, dan seorang perempuan hanya boleh memiliki seorang suami. Artinya ketentuan tersebut tidak sejalan dengan praktik poligini dan poliandri atau praktik perkawinan yang melibatkan seorang perempuan dengan lebih dari seorang laki-laki. Namun, dalam ayat kedua pasal tersebut dinyatakan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami beristeri lebih dari dari seorang bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Meski demikian, Pasal 4 Ayat (2) UU Perkawinan hanya akan memberi izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang dengan syarat sebagai berikut: 1) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri 2) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3) isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Tidak hanya itu, Pasal 5 Ayat (1) UU Perkawinan menambahkan syarat-syarat berikut: 1) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; 2) adanya kepastian bahwa suami mampu menjaminan keperluan-keperluan isteri-isteri dan anak-anak mereka; 3) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Pengaturan syarat-syarat berpoligini dalam UU Perkawinan ditegaskan kembali dalam Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa poligini hanya dapat terjadi bila diizinkan oleh pengadilan agama. Demikian halnya Pasal 57 dan 58 KHI yang menegaskan ketentuan Pasal 4 Ayat (2) dan Pasal 5 Ayat (1) UU Perkawinan mengenai berbagai syarat seorang suami dapat berpoligini. Pernyataan Ahmad Dhani mengenai kemungkinan praktik poligini bagi pensiunan pemain asing yang dinaturalisasi bersifat problematik, baik ditinjau dari UU Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam. Pernyataan yang dikeluarkan dengan tanpa beban itu semakin menebalkan pola pikir Dhani yang patriarkis dan persinggungan pernyataan tersebut dengan martabat perempuan.
Selain dalam isu keperempuanan, pernyataan Dhani mengenai naturalisasi yang selektif dengan memperhatikan ciri-ciri fisik ras tertentu juga bermasalah secara hukum. Pasal 1 angka 3 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar (salah satunya) ras dapat diartikan sebagai bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dhani yang menyatakan bahwa naturalisasi dilakukan dengan mengurangi pemain bola dengan ciri ras tertentu secara hukum dapat dianggap pembatasan secara tidak langsung berdasarkan keragaman rasial. Dengan demikian, usulan Dhani tersebut bersifat diskriminatif secara rasial.
Mungkin saja pernyataan semacam itu dapat keluar karena kurangnya wawasan hukum mengenai hak-hak perempuan, hukum perkawinan di Indonesia, dan hak asasi manusia, namun tetap saja pernyataan yang keluar dari legislator memiliki konsekuensi khusus secara pribadi pada ranah publik maupun kelembagaan. Pernyataan Dhani yang dinilai mennyinggung martabat perempuan dan rasis tersebut dapat diadukan ke Majelis Kehormatan Dewan. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa usulan Ahmad Dhani dinilai mengganggu martabat dan kehormatan DPR. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (4) Peraturan DPR RI No.1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR RI yang menegaskan bahwa anggota harus selalu menjaga harkat, martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya serta dalam menjalankan kebebasannya menggunakan hak berekspresi, beragama, berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Tinggalkan Balasan