Penulis: Dewa Putu Adi Wibawa

Ida I Dewa Agung Istri Kanya adalah figur yang tidak perlu diragukan historisitas dan perannya dalam perjuangan melawan kolonialisme di Bali, khususnya Klungkung. Beliau, yang oleh penulis disebut sebagai Joan of Arc van Bali atau Laksmi Bai van Bali, memiliki ketangguhan langka hingga para penjajah Belanda itu menjulukinya “Ijzeren Dame” alias “The Iron Lady” atau perempuan besi. Julukan itu mengacu pada kekuatan dalam diri Sang Ratu yang siap meledak kapan saja jika ada kekuatan lain yang mengganggu rakyatnya. Ratu Kanya diperkirakan eksis pada abad-19.

Menurut Noorwatha pada abad tersebut Bali mengalami turbulensi politik yang diakibatkan oleh dua faktor utama. Pertama, faktor yang berasal dari dalam Bali sendiri, yaitu perang yang berlangsung di antara kerajaan-kerajaan yang eksis di Bali dengan kedaulatannya masing-masing. Klungkung sebagai pewaris kekuasaan Gelgel telah merosot dominasi politiknya menjadi pusat spiritual dan politik secara simbolis seringkali terlibat dalam peperangan demi peperangan tersebut.

Misalnya saja pada tahun 1800, Klungkung menjalin persekutuan dengan Gianyar guna menghadapi Bangli. Sementara itu, Karangasem menyerang Lombok dan Buleleng. Menurut Purnawati, sepeninggal Dalem Waturenggong, kerajaan-kerajaan di Bali bersaing sengit memperbutkan hegemoni di pulau tersebut. Situasi diperparah pasca pemberontakan I Gusti Agung Maruti yang menyebabkan dominasi politik Gelgel merosot dan beralih rupa menjadi Klungkung.

Dalam sejarah tercatat bahwa Klungkung, Karangasem, dan Gianyar berkonflik hampir terus menerus. Bahkan, menurut Purnawati, persaingan yang terus menerus di antara penguasa di Bali yang menyebabkan Bangli bersekutu dengan Belanda.

Kedua, faktor yang berasal dari luar Bali yang mengambil rupa intervensi bangsa asing, terutama dalam hal ini yang berperan antagonistis adalah Belanda yang pengaruhnya semakin kuat pasca pembubaran VOC. Penguatan tersebut terjadi seiring dengan pengambilalihan wilayah jajahan yang sebelumnya dikuasai VOC dan kini langsung dikontrol oleh pemerintah kolonial.

Belanda mulai menekan raja-raja Bali yang saat itu sebagian besar, termasuk Klungkung, belum tunduk dengan kepentingan melindungi kepentingan bisnis mereka yang dijalankan dengan mesiu dan darah. Tidak hanya itu, melemahnya pengaruh Karangasem dan Bali secara keseluruhan akibat persaingan tanpa henti tersebut membuka jalan bagi Lombok dan Makassar berusaha menginvasi Bali. Dalam situasi penuh persaingan internal itu pula lah Belanda mulai masuk dan memanfaatkan situasi untuk memperbesar kekuasaannya.

Baca juga :  ”Kawah Candradimuka” Ida Dewa Agung Istri Kanya (Bagian II)

Awal mula masuknya Belanda ke ranah Bali melalui cara-cara yang lazim digunakannya di kerajaan-kerajaan lain di nusantara, yakni melalui pendekatan diplomatis disertai berbagai perjanjian. Pada 6 Desember 1841, Raja Klungkung menandatangani perjanjian dengan Belanda, hal ini mengikuti jejak Raja Badung yang terlebih dahulu telah ditekan untuk menandatangani perjanjian serupa. Meski demikian, masyarakat pesisir tetap menjalankan tradisi tawan karang, yaitu merampas kapal yang karam di wilayahnya. Hal ini yang dijadikan alasan oleh Belanda untuk menjalankan intervensi lebih dalam.

Penerapan tawan karang pada kapal dagang Belanda yang karam di wilayah Karangasem memicu perang yang terjadi antara Belanda melawan koalisi Buleleng, Karangasem, dan Klungkung. Pusat serangan ditujukan ke Buleleng yang ditandai dengan ekspedisi militer pertama pada 28 Juni 1848 yang mengarah ke Buleleng yang menolak tunduk dan mengadakan perlawanan secara sengit. Meski Benteng Buleleng jatuh, perlawanan tetap berlanjut melalui Benteng Jagaraga yang berakhir sama, kejatuhan benteng ke tangan Belanda. Jatuhnya Buleleng berimplikasi pada penguasaan Belanda secara efektif atas Buleleng dengan menetapkan kontrol administratif yang efektif. Selain itu, kerajaan-kerajaan Bali lainnya mulai berada di bawah tekanan kolonial sehingga Belanda semakin leluasa memperkuat dominasi politiknya.

Dalam kaitannya dengan Klungkung, usaha Belanda untuk masuk mula-mula sebagai bagian dari strategi kolonial menguasai Bali secara politik dan ekonomi. Klungkung ketika itu memegang klaim sebagai Sesusuhan Kerajaan-Kerajaan di Bali dan Lombok dianggap memiliki kedudukan penting. Alasan ini menurut Devi dan kawan-kawan mendorong Belanda untuk menjadikan Klungkung sebagai target utama dalam usaha menguasai Bali secara keseluruhan. Ada beberapa faktor pokok yang menjadi motivasi Belanda dalam menjalankan politik intervensionis di Klungkung. Pertama, faktor ekonomi, yakni perdagangan langsung antara Bali (terutama Klungkung) dan Singapura tanpai melalui pelabuhan-pelabuhan yang ada di Jawa. Tindakan ini dianggap merugikan Belanda. Selain itu, Klungkung memiliki Pelabuhan Kusamba yang strategis untuk aktivitas ekspor dan impor. Pemberlakuan hak tawan karang yang bertentangan dengan kepentingan perdagangan Belanda.

Baca juga :  ”Kawah Candradimuka” Ida Dewa Agung Istri Kanya (Bagian II)

Kedua, faktor politik di antaranya upaya Klungkung yang berusaha mengembalikan legitimasi dan persatuan Bali melalui perjanjian dengan Gianyar, Badung dan Tabanan. Dengan demikian, pihak Belanda yang mengincar Bali dari awal berniat melemahkan Klungkung secepatnya untuk dapat mengontrol Bali sepenuhnya. Ketiga, upaya Belanda untuk memastikan sikap dukungan Klungkung terhadap kedaulatan Hindia Belanda dan menerima tuntutan agar tidak berhubungan dengan bangsa Eropa lainnya. Pada tahun-tahun berikutnya, kelancangan Belanda semakin menjadi-jadi, mereka menuntut Klungkung agar tunduk pada Belanda dan menghapuskan hak tawan karang.

Sikap melampaui batas yang ditunjukkan pihak Belanda tersebut pada mulanya didahului dengan perjanjian dengan raja-raja Bali setelah pihak Belanda melihat adanya persaingan internal yang ketat di antara kerajaan-kerajaan yang ada di Bali. Namun usaha tersebut gagal karena para penguasa di Bali masih menghormati Klungkung. Klungkung menegaskan tidak boleh ada kontak dengan pihak Gubernemen atau perwakilan pemerintah Hindia Belanda. Menurut Alit, upaya kedua yang ditempuh Belanda nampaknya membuahkan hasil, Raja Klungkung akhirnya bersedia mengakui kedaulatan Hindia Belanda dan menghapuskan hak tawan karang. Kesediaan tersebut pada dasarnya negosiatif. Belanda menjanjikan membantu Klungkung merebut kembali kekuasaan atas Lombok. Perjanjian tersebut merupakan perjanjian pertama, yang ironisnya bukan berisi kemitraan sejajar, melainkan penyerahan kedaulutan. Sebagaimana telah disebutkan di atas, ekspedisi militer pertama Belanda mengarah pada Buleleng lalu Karangasem. Menurut Cahayaningsih, setelah kedua kerajaan tersebut berhasil dikalahkan, maka perhatian Belanda diarahkan menuju Klungkung yang dinilai mendukung perlawanan Buleleng dan Karangasem. Karena itu, misi Belanda berikutnya adalah menaklukkan Klungkung sepenuhnya secara militer.

Baca juga :  ”Kawah Candradimuka” Ida Dewa Agung Istri Kanya (Bagian II)

Dinamika politik di antara raja-raja penguasa Bali serta perseteruan di antara sesama dan peperangannya melawan agresi dari luar adalah latar historis bagi kehadiran figur besar Ida I Dewa Agung Istri Ratu Kanya. Dinamika tersebut membentuk medan yang melahirkan figur kepahlawanan seperti beliau. Ketangguhannya yang tercatat kemudian memberi petunjuk bahwa perlawanan terhadap agresi kolonialisme tidak hanya semata-mata mengacu pada aspek fisikal, namun juga mentalitas serta keteguhan dalam moralitas dan politik. Durkheim dalam teori determinismenya berpendapat bahwa pembentukan karakteristik individu dipengaruhi oleh struktur sosial yang eksis. Dalam konteks I Dewa Agung Istri Kanya, tekanan kolonial, persaingan di antara kerajaan-kerajaan Bali, dan tradisi membentuk jiwa kepemimpinannya yang teguh dan taktis. Sementara Teori Habitual Disposition dari Bourdieu menyatakan bahwa habitus merupakan struktur mental dan perilaku yang terkonstruksi dari pengalaman sosial seseorang. Sebagaimana dipahami bersama bahwa I Dewa Agung Istri Kanya dibesarkan dalam lingkungan puri yang digembleng untuk bertanggung jawab pada rakyat dan patuh pada dharma kepemimpinan. Peran sang raru tidak hanya dipengaruhi oleh pengalamannya dalam tradisi dan lingkungan puri namun juga pengalaman berhadapan dengan ketidakadilan yang dipromosikan oleh kolonialisme.

Turbulensi politik di Bali akibat persaingan di antara para penguasa dan agresi dari luar telah menjadi impuls yang kuat bagi tumbuhnya sosok I Dewa Agung Istri Kanya yang kuat dan tangguh.Pengalaman beliau dalam didikan dharma kepemimpinan, ditambah kerusakan yang ditimbulkan oleh hadirnya Belanda, menjadi dasar motivasional bagi Ratu Kanya untuk memimpin perlawanan. Perlawanan tersebut tidak hanya meninggalkan jejak-jejak heroisme dalam menghadapi militer Belanda yang tangguh, namun juga menegaskan peran kebudayaan yang diwariskan oleh sang ratu.

Bersambung….