Oleh: Dewa Putu Adi Wibawa

Pulau Bali dipimpin oleh delapan raja pada abad XIX. Meski para penguasa Klungkung secara tradisional mendapatkan gelar Sesuhunan Bali dan Lombok, serta dipandang pula sebagai pusat spiritual dan politik karena pewaris langsung legitimasi Gelgel, namun pemusatan tersebut bermakna simbolis. Secara faktual, Bali adalah medan palagan kedelapan raja kecil yang saling berebut pengaruh satu sama lain. Setelah “Peristiwa Pemberontakan I Gusti Agung Maruti”, desentralisasi kekuasaan di Bali membesar dalam kurun waktu singkat. Disintegrasi sosial dan politik mulai melebar dengan bermunculannya raja-raja kecil yang lepas dari Gelgel seperti Den Bukit, Mengwi, Gianyar, Badung, Tabanan, Payangan, dan Bangli. Meskipun kekuasaan yang sah berhasil dipulihkan dengan kalahnya Maruti menghadapi strategi para pembesar Gelgel seperti Panji Sakti, Ki Bagus Sidemen, dan Ki Jambe Pule serta penobatan putra bungsu Raja Gelgel sebelumnya, Sri Agung Jambe, sebagai raja penerus dengan gelar I Dewa Agung yang berkedudukan di Kelungkung (Purnawati, 2012), namun hal itu tidak berhasil menyatukan kembali Bali di bawah satu kepemimpinan tunggal.

Sementara itu, pada saat bersamaan, ancaman potensial datang dari Belanda. Sekalipun ada unsur-unsur luar sekitar Bali yang berpartisipasi memberi ancaman, hal itu hanya membonceng kekuatan Belanda. Mengingat kekuatan besar seperti Mataram di Jawa dan Makassar serta pulau-pulau yang dulunya berada di bawah klaim kekuasaan Bali telah jatuh ke tangan Belanda. Maka secara praktis, ancaman efektif hanya datang dari Belanda yang memperalat kekuatan-kekuatan luar di sekitar Bali. Seperti telah dijelaskan dalam bagian pertama serial tulisan ini, Buleleng telah jatuh setelah perlawanan sengit di Jagaraga. Belanda kemudian meneruskan rencananya menaklukan raja-raja Bali. Rencana itu dimulai dengan Klungkung. Dalam kondisi seperti itulah Ida I Dewa Agung Istri Kanya (Ratu Kanya) tumbuh sebagai individu, penguasa, sekaligus perempuan yang tangguh.

Bersandar pada pandangan Bourdieu, seorang filsuf Perancis, ketangguhan Ratu Kanya tidak dapat dilepaskan dari gejolak kondisi bangsanya. Individu tidak berkembang dalam ruang hampa, menurut filsuf tersebut. Keberadaannya dalam struktur sosial yang membentuk cara para individu berpikir, bertindak, dan merespons tantangan. Struktur itu pula yang menciptakan habitus atau pola disposisi yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui pengalaman sosial. Namun sesuatu yang khas dari Ratu Kanya, terutama dalam ketangguhan dan pelampauannya atas status gender, membuat siapa saja akan bertanya apakah benar hal seperti itu didapat dari warisan kebiasaan semata?

Baca juga :  Latar Sejarah Ida Dewa Agung Istri Kanya -Sang “Dewi Perang” Dari Bali (Bagian-1)

Teori resiliensi dari Glantz dan Johnson (1999) berusaha menjelaskan dari sudut pandang yang berbeda. Resiliensi tidak hanya berkenaan dengan kapasitas individu, namun juga gejala sosial yang memperoleh pengaruh dari faktor budaya dan sejarah. Dalam konteks ini, pengalaman kolektif masyarakat Bali umumnya dan Klungkung khususnya yang berhadapan dengan peperangan internal dan ancaman dari luar dapat mengonstruksi pola resiliensi sehingga menumbuhkan kemampuan individu dalam merefleksikan pengalaman dan menemukan makna dalam kesulitan. Keberhasilan individu dalam bertahan menghadapi kesulitan tidak terlepas dari apa yang disebut Bourdieu sebagai modal sosial, budaya, dan ekonomi. Namun dalam konteks ini aspek-aspek resiliensi dari Glantz dan Johnson lebih relevan yakni mencakup dukungan sosial yang berasal dari keluarga, komunitas, dan jaringan sosial, serta sumber daya eksternal seperti akses pendidikan, kekuasaan, dan ekonomi yang membuka kemungkinan bagi seseorang untuk berhasil dalam menghadapi kesulitan.

Seseorang yang berhasil menghadapi dan melewati kesulitan tersebut akan memiliki ketahanan dan karakter yang kuat dalam menghadapi persoalan-persoalan berikutnya. Teori ini cukup akurat menjelaskan proses pembentukan karakter hebat yang dimiliki seorang Ratu Kanya. Agresi dan eksploitasi yang dilakukan pihak Belanda dan sekutunya menimbulkan situasi menekan berupa hambatan dan berbagai kesulitan yang harus dihadapi Ratu Kanya beserta Rakyat Klungkung. Terutama setelah jatuhnya Buleleng dan ekspedisi militer yang hendak dilakukan Belanda ke Klungkung. Kondisi yang berat tersebut dilalui dengan dukungan yang solid dari keluarga, para pembesar kerajaan dan rakyat. Sementara itu, sebagai putri dari salah satu kerajaan besar di Bali, sumber daya seperti pendidikan, kekuasaan, dan ekonomi yang dapat diaksesnya membuka kemungkinan untuk bertahan dengan kapasitas yang bertumbuh dalam menghadapi dampak dari agresi Belanda kelak.

Baca juga :  Latar Sejarah Ida Dewa Agung Istri Kanya -Sang “Dewi Perang” Dari Bali (Bagian-1)

Pendidikan di lingkungan puri beserta aksesnya pada berbagai lontar membuat Ratu Kanya memiliki kontribusi bagi pengembangan budaya Bali di tengah-tengah kepungan kekuatan asing. Demikian pula akses pada kekuasaan menampilkan dirinya sebagai pemimpin kuat di kemudian hari. Fenomena ketertekanan dan ketertindasan yang dialami secara kolektif dan berhasil dihadapi akan membentuk pola resiliensi atau pola beradaptasi ketika berhadapan dengan tekanan, tantangan dan situasi krisis. Tidak hanya adaptif namun juga berkembang lebih baik menghadapi situasi tersebut. Kemampuan semacam ini yang membuat Ratu Kanya mampu mengambil peranan strategis dalam kancah geopolitik Bali menjelang serbuan Belanda dalam peristiwa Kusamba dan masa-masa setelahnya. Tidak hanya dalam perpolitikan, sang ratu juga menjadi teladan kebangkitan kaum perempuan di Bali dalam bidang kesusasteraan.

Situasi krisis berasal tidak hanya dari ancaman eksternal, namun juga kondisi internal para penguasa di Bali sendiri seperti yang telah dibahas pada bagian pertama serial tulisan ini. Friksi inilah yang menciptakan kerentanan Bali bagi ancaman dari luar. Daya adaptif dan ketahanan yang kuat dari seorang Ratu Kanya terlihat jelas dalam berbagai tindakan yang dilakukan semasa menjadi wakil ayahandanya maupun setelah dinobatkan sebagai ratu. Ayahandanya, Dewa Agung Putra Kusamba, memilih untuk tinggal dan memerintah dari Puri Kusamba. Sementara Puri Semarapura diserahkan para pada putrinya, Ratu Kanya yang kala itu masih bernama I Dewa Agung Istri Muter. Pada saat itulah pergerakannya dimulai dalam merakit cita-cita penyatuan Bali melalui “paswara asta negara” atau perjanjian di antara delapan negara di bawah Dewa Agung di Klungkung sebagai sesuhunan di atas Pulau Bali dan Lombok. Langkah konkrit yang ditempuh adalah kerja-kerja diplomasi politik yang menghasilkan aliansi di antara kerajaan-kerajaan (A.A. Bagus Wirawan, dkk, 1993).

Baca juga :  Latar Sejarah Ida Dewa Agung Istri Kanya -Sang “Dewi Perang” Dari Bali (Bagian-1)

Berbagai tindakan diplomatis yang dilakukannya, sehingga dikenal sebagai diplomat wanita di kalangan raja-raja Bali, bertujuan untuk melindungi Bali dari serangan kekuatan asing. Garis yang diusung oleh Ratu Kanya adalah diplomasi anti kolonial Belanda (A.A. Bagus Wirawan, dkk, 1993). Terbentuknya ideologi anti kolonialisme yang keras dan tegas pada diri Ratu Kanya dapat dijelaskan melalui apa yang disebut oleh Althusser sebagai interpelasi, yakni proses di mana ideologi “memanggil” individu untuk mengidentifikasi dirinya dengan keadaan tertentu yang mana ideologi tersebut relevan dengan keadaan itu. Dalam proses ini, invidu tidak hanya sadar namun juga terpanggil untuk mengambil tanggung jawab dalam perjuangan. Dalam konteks ini ideologi anti kolonialisme Ratu Kanya terkonstruksi melalui proses interpelasi atau “dipanggil” sebagai subjek dari ideologi tersebut. Ideologi anti kolonialisme secara umum sendiri telah eksis sebagai produk dari pengalaman traumatis penyerbuan-penyerbuan dan penaklukan-penaklukan asing, khususnya Belanda.

Sementara itu, cita-cita reintegrasi Bali melalui berbagai format lahir sebagai resiliensi, atau kapasitas yang kuat dari seorang Ratu Kanya yang pernah mengalami dan menyaksikan friksi berdarah para penguasa di Bali. Ia beradaptasi sekaligus mengembangkan langkah-langkah strategis guna merespons situasi perpecahan yang buruk bagi Bali di tengah konflik geopolitik regional. Respons taktis yang ditempuh adalah menjalin persekutuan dengan raja-raja tertentu di Bali. Ekspedisi militer Belanda yang telah dapat diperkirakan pada akhirnya benar berlangsung di pesisir Klungkung. Pada momen tersebut daya tahan dan ketangguhan Ratu Kanya, baik dalam resiliensi maupun ideologi akan terlihat sejelas-jelasnya.

Bersambung..