Penulis: Dewa Putu Adi Wibawa, S.H.

Pada Kamis, 6 Februari 2025, terjadi kericuhan dalam persidangan kasus dugaan pencemaran nama baik antara Raznab Arif Nasutiin sebagai terdakwa dan Hotman Paris sebagai pihak pelapor di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kericuhan terjadi akibat dipicu oleh keputusan yang dibuat majelis hakim yang menetapkan sidang berlangsung secara tertutup karena berkaitan dengan aspek kesusilaan tertentu. Sebagaimana diketahui, berdasarkan ketentuan Pasal 153 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), suatu perkara jika berkenaan dengan kasus kesusilaan akan diputuskan menjadi sidang yang digelar secara tertutup oleh majelis hakim. Namun, pihak Razman Nasution yang telah berstatus terdakwa menolak keputusan itu karena dianggap tak adil. Tidak hanya itu, dalam dalihnya sidang tidak perlu dilakukan secara tertutup karena percakapan antara Iqlima dan Hotman Paris yang menjadi bukti dalam kasus ini telah banyak tersebar ke publik.

Razman bersikukuh agar sidang dibuka untuk umum dan mengusulkan media dapat menyiarkannya secara langsung. Namun, majelis hakim tetap memilih keputusan awal dan menolak permintaan Razman tersebut. Situasi semakin menegang setelah Razman menggebrak meja sidang dan mendekati kursi saksi di mana Hotman Paris duduk. Bahkan salah satu anggota tim kuasa hukum Razman melompati meja hakim. Tindakan ini tentu saja memperkeruh suasana sehingga Majelis Hakim memutuskan untuk menskors sidang dan meninggalkan ruang persidangan. Peristiwa kericuhan itu bagi sebagian kalangan dinilai sebagai degradasi marwah peradilan. Pandangan tersebut dikemukakan oleh anggota DPR daei Fraksi Nasdem. Respon serupa diberikan oleh Komisi Yudisial yang menyatakan akan mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadao orang atau sekelompok orang yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.

Pihak Hotman Paris sendiri menanggapi hal tersebut melalui akun Instagramnya menyatakan bahwa tindak Razman beserta tim kuasa hukumnya merupakan penghinaan terhadap lembaga peradilan. Ia meminta Mahkamah Agung dan pimpinan pengadilan untuk mengambil tindakan tegas, termasuk melakukan pelarangan pengacara tersebut bersidang di Pengadilan Indonesia. Sementara itu Razman dalam pembelaannya menyatakan bahwa permintaan dirinya agar sidang berlangsung secara terbuka seperti tiga sidang yang berlangsung sebelumnya, dilakukan dengan penuh penghormatan. Namun, menurutnya, Ketua Majelis Hakim bersikukuh agar persidangan berlangsung tertutup dan menskors sidang. Hal itulah bagi Razman memicu kemarahan tim kuasa hukumnya karena merasa ada ketidakadilan. Akibat dari kericuhan tersebut, sidang mengalami penundaan hingga 20 Februari 2025.

Baca juga :  Gara-Gara Kasus Unud, Rektor PTN yang Pungut SPI Berpotensi Diborgol

Razman diketahui telah dipecat secara tidak hormat oleh organisasi advokat Kongres Advokat Indonesia (KAI) pada Juli 2022. Keputusan tersebut ditempuh setelah melalui proses rapat internal yang melibatkan pengurus pusat dan daerah KAI. Alasan dilakukannya pemecatan tersebut adalah karena banyaknya pengaduan masyarakat yang menilai perilaku Razman tidak mencerminkan kode etik advokat. Presiden KAI kala itu menyatakan bahwa laporan dari masyarakat menimbulkan keresahan. Razman diduga melakukan perbuatan yang merugikan para kliennya dan melakukan pelanggaran kode etik advokat. Selain itu, terdapat pula sederet kontroversi lain yang menyulitkan posisi Razman. Seperti perseteruannya dengan Dennise Chariesta, Iqlima Kim, dan Richard Lee. Berdasarkan pengaduan berbagai pihak, termasuk pihak-pihak yang disebutkan di atas, KAI selanjutnya memutuskan untuk memberhentikan Razman secara tidak hormat dari jabatannya sebagai Wakil Presiden KAI bidang hak-hak konsumen dan mencabut surat pengangkatannya sebagai advokat.

Dalam konteks ini berarti Razman menyandang status sebagai advokat yang telah dipecat dari organisasi advokat tempatnya bernaung. Apakah hal ini berarti status Razman sebagai advokat sesudah pemecatan itu telah hilang? Pasal 9 Ayat (1) UU No.8 Tahun 2003 tentang Advokat menegaskan bahwa advokat dapat diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat. Selanjutnya dalam Pasal 10 Ayat (1) menyatakan bahwa advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan: a) permohonan sendiri; b) dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih; atau c) berdasarkan keputusan Organisasi Advokat. Artinya salah satu dari tiga sebab tersebut dapat membuat seseorang advokat berhenti dari profesinya sebagai advokat secara tetap. Dalam Ayat (2) ketentuan tersebut ditegaskan bahwa advokat yang diberhentikan berdasarkan ketentuan sebagaimana telah dijelaskan dalam Ayat (1), tidak lagi memiliki hak menjalankan profesi advokat. Dengan kata lain, setelah pemecatan, Razman tidak lagi dapat menjalankan profesinya sebagai advokat.

Baca juga :  Hotman Sebut Pemda Pegang Kunci Akhiri Polemik Kanaikan Pajak

Namun status keanggotaan Razman yang telah dicabut beserta implikasinya kehilangan status advokat karena pemecatan KAI tidak berlangsung lama karena ia mengklaim dirinya telah menjadi bagian dari KAI pimpinan Tjoetjoe Sandjaja Hernanto. Oleh karena Indonesia menganut sistem multibar dalam relasi keorganisasian advokat, maka Razman dapat kembali berpraktik sebagai advokat berdasarkan pengangkatan dari organisasi advokat yang baru. Tidak berlangsung lama sebagai bagian dari KAI pimpinan Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, Razman kembali dikabarkan berpindah ke PERADI Bersatu. Dengan demikian Razman berpotensi dapat kembali menjalankan profesinya sebagai advokat.

Pemecatan seorang advokat berpotensi tidak dapat dilakukan secara permanen karena kewenangan pengangkatan dan pemecatan ada di tangan organisasi advokat. Pada saat bersamaan, Indonesia dalam praktiknya menjalankan sistem multi-bar dalam relasi keorganisasian advokat. Dengan kata lain, terdapat pengakuan adanya lebih dari satu organisasi advokat yang memiliki kekuatan dan legitimasi yang sama. Selain sistem tersebut, ada pula relasi single bar yang menganggap hanya ada satu organisasi advokat yang diakui memiliki keabsahan dalam menjalankan fungsi sebagi organisasi advokat. Jenis berikutnya adalah federasi bar yang mana banyaknya organisasi advokat akan terkoordinasi di bawah satu badan pusat.

Kasus Razman Nasution merupakan salah satu contoh dari fenomena gunung es yang sedang berlangsung dalam sistem keorganisasian advokat di Indonesia. Salah satu kelemahan intrinsik dari sistem multi-bar adalah kesulitan dalam mengendalikan perilaku para advokat, mengingat setiap organisasi advokat memiliki kewenangan memberhentikan dan mengangkat advokat. Dalam kasus Razman Nasution dengan segala kontroversinya yang dengan mudahnya berpindah organisasi advokat dan berpotensi mendapatkan kembali hak untuk menjalankan profesi advokat, hal ini menjadi refleksi ketat bagi para praktisi dan pemikir hukum di Indonesia. Ada pandangan yang mengemukakan agar Indonesia sepenuhnya menjadi negara yang menganut relasi keorganisasian advokat yang bersifat single bar. Hal ini diusulkan agar memudahkan kontrol terhadap perilaku advokat sekaligus menjaga kualitas rekrutmen advokat.

Baca juga :  Pro Kontra Kasus SPI Unud, JPU: Kami Kerja Profesional!

Namun, ada pula yang mengajukan gagasan pembentukan Dewan Advokat Nasional yang berfunggsi mirip dengan federasi bar di Amerika Serikat, namun dengan kekuatan otoritas yang lebih besar. Usulan itu dikemukakan oleh Ketua Umum Peradi-SAI, Juniver Girsang. Sebagaimana diberitakan oleh Kompas.com, usulan ini disampaikan menyusul kericuhan antarpengacara dalam sidang dugaan pencemaran nama baik antara Razman Arif Nasution dan Hotman Paris di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Kamis (6/2/2025). Dewan ini memiliki wewenang dalam menegakkan kode etik advokat di Indonesia. Dengan demikian keputusan dewan harus diterima oleh seluruh organisasi advokat. Tidak hanya dalam langkah kuratif seperti penegakan kode etik, dewan ini berperan besar pula dalam langkah preventif berupa penanganan regulasi lintas organisasi advokat dalam penanganan rekrutmen.

Rekrutmen merupakan pintu masuk seseorang menjadi advokat. Bagi penulis, rekrutmen calon advokat tidak hanya memberi penekanan pada aspek kognitif berupa wawasan keilmuan dan praktik hukum semata, namun juga aspek-aspek afeksional dan kesehatan mental. Setiap calon advokat sudah seharusnya dilakukan penilaian kondisi afeksi dan kesehatan mental guna memastikan kemampuannya dalam menjalankan kode etik saat berpraktik. Selain itu, dalam kaitannya antara single bar atau pembentukan suatu dewan nasional, penulis pada dasarnya lebih setuju dengan implementasi single bar, namun kondisi relasi keorganisasian advokat di Indonesia sulit untuk mewujudkan hal tersebut. Karena itu, usulan pembentukan dewan nasional sepertinya lebih realistis untuk dilakukan.