Mediasi Konflik Klaim Tanah Negara, PT SBH Mangkir
DIKSIMERDEKA.COM, BULELENG, BALI – Mediasi antara PT Sarana Buana Handara (SBH) dangan warga Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada Buleleng batal lantaran pihak SBH tidak hadir. Mediasi yang rencana digelar di kantor desa setempat pada Senin 23 Desember 2024 terpaksa ditunda untuk waktu yang belum ditentukan. Ketidakhadiran PT SBH ini mengundang berbagai spekulasi negatif.
Bahkan Kepala Dinas (Kadis) Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (PERKIM) Kabupaten Buleleng, Ni Nyoman Surattini yang menginisiasi pertemuan ini terlihat kecewa atas sikap PT SBH yang mengabaikan niat baik pemerintah untuk memfasilitasi menyelesaikan persoalan.
“Atas permintaan kuasa hukum warga, pertemuan ini kita tunda lantaran ketidak hadiran PT Sarana Buana Handara dan kita jadwalkan ulang. Namun di balik itu ketidak hadirannya hari ini kita catat sebagai itikad kurang baik,” terang Kadis PERKIM Kabupaten Buleleng Ni Nyoman Surattini di hadapan warga yang hadir dalam pertemuan di kantor Desa Pancasari, Senin (23/12/2024).
Nyoman Surattini mengatakan undangan mediasi untuk PT SBH disampaikan melalui Perbekel Pancasari Wayan Komiarsa, namun surat undangan baru diberikan oleh Perbekel Pancasari ke PT SBH di pagi hari hari jadwal mediasi dilakukan, Senin 23 Desember 2024, padahal undangan sudah disampaikan sejak Jumat 20 Desember 2024.
Lebih lanjut Kadis PERKIM, Surattini meminta kepada Perbekel Pancasari untuk bisa memastikan kehadiran pihak PT SBH dalam agenda ulang pertemuan. “Tolong pak kel (Perbekel, red) untuk pertemuan selanjutnya bisa dipastikan pihak Sarana Buana Handara untuk hadir,” ujarnya.
Kasi Penetapan Hak dan Pendaftaran tanah ATR/BTN kabupaten Buleleng, Drs Ketut Ariasa yang merupakan perwakilan ATR/BTN Kabupaten Buleleng ketika dikonfirmasi wartawan, menegaskan keberadaan lahan yang dipersoalkan itu adalah tanah negara bekas hak.
“Berdasarkan data yang ada di BPN lahan itu adalah tanah negara bekas hak dari HGB yang sudah berakhir. Statusnya sekarang ya tanah negara,” jelas Ariasa.
Untuk diketahui kuasa hukum warga, Jro Komang Sutrisna, SH menyayangkan sikap PT SBH tidak hadir dalam pertemuan yang sebelumnya dikatakan telah melayangkan somasi kepada warga di atas tanah negara.
Ia menilai tindakan dilakukan tidak lebih dari gertakan cara-cara lama pada masa orde baru guna menakuti warga di atas negara hukum.
“Setiap tanah ada riwayat dan yang menempati juga ada kronologis. Warga yang menempati lahan itu sudah ada sebelum HGB Nomor 44 di lokasi. Mereka mengelola lahan berpuluh-puluh tahun untuk kebutuhan ekonomi mereka dan berlanjut ketika masa HGB berakhir 2012 hingga sekarang. Sementara Sarana Buana Handara tidak memanfaatkan hak HGB nya diberikan negara. Ini fakta yang tak terbantahkan dan tidak boleh kita abaikan,” ungkap Sutrisna.
Ia juga menyinggung warga yang menempati lahan itu adalah warga tidak mampu dan tergolong fakir miskin tidak memiliki tempat tinggal sebagai warga dari desa dinas dan desa adat Pancasari. Tentunya keadaan ini menjadi perhatian negara sesuai amanat UUD 1945 dan reforma agraria.
“Bagaimana PT SBH melakukan tindakan somasi ilegal kepada warga yang awam hukum menyuruh pergi dari lahan itu. Apa mau warga disuruh tinggal di atas danau. Ini bisa dikatakan telah melanggar hak asasi. Terlebih PT SBH menempatkan plang kepemilikan lahan di atas lahan yang statusnya tanah negara. Ini kan intimidasi terhadap warga miskin yang wajib kita lindungi,” tegasnya.
Menariknya, berdasarkan informasi yang dapat digali wartawan, meski status tanah itu sekarang adalah tanah negara yang ditempati warga berpuluh puluh tahun, pihak Perbekel Pancasari memuluskan permohonan PT SBH
Pasalnya ketika dikonfirmasi, Perbekel Pancasari Wayan Komiarsa menyebut telah menandatangani permohonan perusahaan SBH untuk hak guna bangunan (HGB) yang diduga tanpa perencanaan pembangunan (site plan) yang jelas di atas tanah negara.
“Bali Handara sudah memohon dan sudah kami tandatangani,” ungkap Wayan Komiarsa kepada wartawan di Kantor Kepala Desa Pancasari.
Tindakan Perbekel Pancasari ini menuai kritik dari berbagai pihak. I Gede Budiasa, perwakilan Garda Tipikor Kabupaten Buleleng, menilai bahwa penandatanganan dokumen semacam itu di atas tanah negara dan tanpa mengacu pada aturan tata ruang dan perencanaan yang sah berpotensi melanggar hukum.
Ia menegaskan, menurut Pasal 26 ayat (4) huruf b UU Desa, kepala desa wajib menjalankan tugas sesuai peraturan perundang-undangan. Jika terbukti lalai atau sengaja mendukung tindakan ilegal, ia bisa terjerat pasal penyalahgunaan wewenang atau kelalaian administratif.
Kasus ini memicu seruan agar pemerintah desa bertindak lebih transparan dan berhati-hati dalam menandatangani dokumen penting.
“Setiap tindakan harus dipastikan sesuai regulasi. Jika tidak, dampaknya bisa merugikan masyarakat dan menimbulkan konsekuensi hukum serius bagi kepala desa,” tegas Budiasa.
Reporter: Wayan Irawan
Editor: Ngurah
Tinggalkan Balasan