Carut-Marut Sampah Denpasar: Pandangan Tak Sedap dan Bau Menyengat, ‘Suguhan’ bagi Siapapun yang Lewat
DIKSIMERDEKA.COM, DENPASAR, BALI – Deretan panjang antrian motor roda tiga pengangkut sampah berjejer setiap pagi di bilangan ruas Jalan Cok Agung Tresna, Renon, Denpasar. Mereka hendak membuang sampah di tempat pembuangan sementara (TPS) Renon. Bau menyengat dan pemandangan tidak sedap pun menjadi ‘suguhan’ bagi siapapun yang kebetulan lewat.
Salah seorang petugas pengangkut sampah yang tidak ingin namanya diungkap menuturkan bahwa sudah sejak beberapa minggu kondisi ini terjadi. Setiap kali membuang sampah di TPS ini mereka harus antri berjam-jam. Kondisi ini terjadi menurutnya lantaran adanya pengalihan sampah yang sebelumnya ditampung di TPS Pasar Kreneng.
Ditambah lagi dengan minimnya armada truk pengangkut sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA) Suwung, serta kroditnya kondisi di TPA Suwung. “Iya, setiap hari seperti ini mas. Masalahnya karena yang buang sampah ke sini semakin banyak, sampah dari Kreneng juga dibuang ke sini. Karena disana sedang direnovasi TPS-nya,” ujar sumber tersebut, Minggu (29/12) pagi.
Kondisi ini sebelumnya juga sempat disorot salah satu Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, I Gusti Ngurah Arya Wedakarna (AWK). AWK mengkritik langkah pragmatis yang dilakukan Kota Denpasar dalam menangani sampah. Seharusnya, dengan kekuasaan eksekutif dan kuasa anggaran serta aset-aset yang dimiliki pemerintah Kota dapat mengatasinya dengan lebih baik lagi.
“Urusan sampah di Bali khususnya Denpasar dan Badung memang sudah darurat. Kenapa tidak ada solusi pragmatis, sambil mencari solusi jangka pendek dan panjang,” tulis AWK di akun media sosialnya (Medsos), Rabu 25 Desember 2019.
“Pemerintah, seorang Gubernur/Walikota/Bupati itu punya kekuasaan eksekutif, punya uang, punya tanah, punya hak memerintah. Kenapa tdk bisa gunakan hak itu? Saya lihat sampah hanya ditumpuk begitu saja, dan tidak ada solusi daur ulang,” ujarnya.
AWK juga mengatakan ada proses yang menurutnya percuma (jika tidak bisa dikatakan ‘omong kosong’) saat pemerintah meminta masyarakat memilah sampah, karena saat diangkut ternyata sampah-sampah itu kembali dijadikan satu, dan sampah itu pun kembali berserakan.
Dan, anehnya lagi menurutnya, pemerintah hanya memberikan sumbangan berupa kendaraan operasional pengangkut sampah, sedangkan petugas kebersihan (pengangkut sampah) mendapat bagian kesejahteraan dari iuran masyarakat. Ia menyebutkan, berapapun titik tempat pembuangan akhir (TPA) dibangun tetap saja akan penuh jika tidak ada mesin daur ulang.
Hal ini senada dengan yang dituturkan seorang pengangkut sampah dari Penatih. Selain harus mengeluarkan biaya perawatan motor pihaknya juga harus membayar Rp 10.000 per hari ke banjar. Sisi lain adanya Bank Sampah dikatakan hanya mengambil rongsokan saja, diungkap lantaran punya nilai ekonomis.
“Bank sampah itu hanya mengambil rongsokan saja. Sedangkan sampah lain tidak diambil. Biasanya kita sebagai pekerja sampah rejekinya terpotong,” keluhnya.
Melihat keadaannya seperti ini, banyak pihak menyayangkan, penghentian atau pengurangan sampah dari kabupaten lain seperti Badung ternyata tidak efektif bisa memberi penyelesaian masalah TPA. Malahan belakangan ini disebut-sebut, bukan hanya TPA Suwung saja yang kondisinya sudah parah, tapi pengelolaannya juga diduga bermasalah.
Entah sampai kapan, carut-marut pengelolaan sampah di Kota Denpasar ini terjadi. Hal ini bagaikan paradoks. Ibu Kota dari sebuah daerah yang mengandalkan pariwisata sebagai sumber pendapatannya, tapi tak pernah tuntas berurusan dengan masalah kebersihan dan pengelolaan sampah.
Renon sendiri merupakan pusat pemerintahan. Berbagai organisasi perangkat daerah (OPD) berkantor di wilayah ini, bahkan kantor Gubernur-pun ada di wilayah ini. Selain itu tempat ini juga merupakan tempat rekreasi dan olahraga bagi masyarakat Bali, khususnya masyarakat Kota Denpasar. Jika wilayah se-strategis pusat pemerintahan Renon saja kondisinya seperti itu, bagaimana dengan wilayah lainnya? (Tim)
Tinggalkan Balasan