Kasus Gudang Mikol: Biayai Proses Hukum, Warga Banjar Sakah Rela Jual Balai Banjar
DIKSIMERDEKA.COM, DENPASAR-BALI, Keseriusan tekad Kelian dan warga Banjar Sakah, Desa Adat Kepaon, Denpasar selatan, untuk menentang kesewenang-wenangan pemilik modal dalam melakukan usaha di lingkungannya sudah bulat, lantaran pemilik modal yang hendak memaksakan diri untuk membangun gudang minuman beralkohol (Mikol), di lingkungan tersebut, padahal belum mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Kelian Banjar Sakah, AA. Gede Agung Aryawan, ST., bersama warganya menyatakan siap menghadapi, sampai dimanapun, proses hukum dari Pengaduan Masyarakat (Dumas) yang dilakukan oleh pihak pemilik modal ke Kepolisian Resort Kota (Polresta) Denpasar atas dasar tuduhan bahwa Kelian Banjar Sakah bersama Pecalang dan Warganya telah merugikan pemodal karena melakukan penghentian paksa pembangunan tersebut.
Bahkan, Agung Aryawan mengatakan, berdasarkan Paruman Banjar (Musyawarah) yang dilaksanakan pada, Rabu 24 Oktober 2019 kemarin, warganya sepakat dan siap menanggung semua biaya proses hukum yang akan dikeluarkan dalam perkara tersebut.
Dan dengan tegas ia juga mengatakan, bahwa dalam paruman tersebut warganya bahkan menyatakan rela menjual Balai Banjarnya, apabila memang dibutuhkan untuk membiayai proses hukum tersebut.
“Semua biaya ditanggung oleh kas Banjar. Bahkan kalau kurang biayanya masyarakat banjar sakah siap dan rela Balai Banjarnya dijual untuk membiayai proses hukum,” tegasnya saat ditemui di Polresta Denpasar, saat ia bersama puluhan warga Banjar Sakah mendampingi warga yang diperiksa penyidik Polresta terkait kasus tersebut.
Pemanggilan itu sendiri terkait Surat Pengaduan Masyarakat Dumas bernomor: Dumas/722/X/2019/Bali/Resta Dps tertanggal 8 Oktober 2019 terkait penghentian proyek pembangunan gudang minuman beralkohol (mikol) yang berada di lingkungan Banjar Sakah, Desa Pemogan, Denpasar Selatan.
Nyoman Parne, sebagai warga penyanding (tetangga) yang rumahnya persis berada di samping lokasi lahan pembangunan yang menjalani pemeriksaan tersebut mengatakan bahwa dirinya memang belum bersedia menandatangani surat persetujuan yang menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan IMB tersebut.
Meski ia bersama warga penyanding lainnya, telah beberapa kali ditemui, baik oleh utusan maupun si pemilik modal langsung dan dalam pertemuan tersebut ia diberitahukan bentuk gambar rancangan bangunan yang akan dibangun. Karena saat itu ia belum begitu memahami, ia meminta waktu untuk memahami bentuk gambar tersebut terlebih dahulu, sebelum memberikan jawaban ataupun persetujuan.
Namun sebelum adanya pernyataan persetujuan, dan tentunya belum juga mendapatkan IMB untuk pembangunan tersebut, pihak pemilik modal ternyata telah melakukan proses pembangunan. Yang akhirnya menuai protes, dan berujung pada penghentian paksa yang dilakukan oleh pihak banjar bersama Kalian dan aparatur Pecalangnya, pada tanggal 6 Oktober 2019 lalu.
Selain itu, kembali menurut Agung Aryawan, ia juga mengatakan bahwa sebelumnya Satpol PP sudah pernah turun ke lokasi sebanyak 2 kali, namun demikian menurutnya tidak ada tindakan tegas yang dilihat masyarakat, pembangunan tetap berlanjut, bahkan dengan jumlah pekerja yang cukup banyak tanpa melapor sebagai penduduk non permanen kepada Banjar Adat dan Pecalang.
“Karena dari Satpol PP tidak melakukan tindakan tegas pada saat itu, saya tidak bisa hanya berdiam dan berpangku tangan sebagai Kelian Adat Banjar Sakah melihat krama tamiu (warga pendatang, red) bekerja pada bangunan tanpa IMB dan tidak melapor ke banjar. Padahal Satpol PP sudah mengetahui dibalik itu ada pelanggaran,” paparnya.
Menurutnya kejadian inilah yang membuat masyarakat mulai tergerak dengan menghentikan pembangunan proyek secara spontan berdasarkan Awig-awig. Sebenarnya, tutur Agung Aryawan lebih lanjut, pihaknya bersama masyarakat setempat sudah sempat melakukan mediasi, namun pihak penanggung jawab bangunan mengatakan kalau tanah tersebut adalah miliknya dan ia bebas melakukan apa saja terhadap tanah tersebut.
“Apakah itu bisa dibenarkan kata-katanya. Apalagi pemilik bangunan belum sepenuhnya mengantongi IMB & melakukan pembangunan yg tidak sesuai peruntukan yg dikeluarkan lewat SKRK oleh Dinas PUPR. Dan gudang mikol bila dilihat perkembangannya ke depan, pasti ada positif dan negatifnya,” tandasnya. (Ad)
Tinggalkan Balasan