Oleh: Dewa Putu Adi Wibawa, S.H.

Beberapa hari lalu warganet Indonesia mengintroduksi istilah persepakbolaan yang dianggap analog terhadap kasus korupsi di Indonesia, yaitu klasemen liga korupsi Indonesia. Diskursus tersebut berupaya menyusun peringkat kasus-kasus korupsi terbesar di Indonesia berdasarkan kerugian yang diderita negara. Istilah “liga korupsi” sendiri merupakan semacam sindirin atau kritik bernada satire terhadap merajalelanya kasus korupsi di Indonesia, terutama dengan dampak kerugian negara dalam skala yang besar. Istilah tersebut mencuat di berbagai platform media sosial, terutama X/Twitter dan Instagram karena dipicu oleh berita diduga terjadinya kasus korupsi di Pertamina yang berdampak pada kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah.

Liga korupsi di Indonesia menyajikan klasemen kasus berdasarkan peringkat. Pertama, peringkat 1 kasus korupsi klasemen liga korupsi Indonesia adalah korupsi Pertamina yang mencapai kerugian potensial hingga mencapai Rp 968,5 triliun. Perbuatan yang menimbulkan kerugian negara di antaranya ekspor minyak mentah dalam negeri, impor minyak mentah melalui beroker, impor BBM melalui broker, pemberian kompensasi, serta subsidi. Belum lagi kasus kualitas BBM yang lebih rendah dijual ke publik, selisih harga tersebut dapat dihitung sebagai kerugian negara. Kedua, peringkat kedua diduduki oleh kasus PT Timah yang mencapai Rp 300 triliun. Kasus ini awalnya dinyatakan berdampak Rp 271 Triliun, namun setelah BPKP mengeluarkan hasil auditnya, tercatat bahwa total kerugian negara mencapai Rp 300 triliun (Kontan.co.id, 2025).

Ketiga, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang diberikan pada masa krisis moneter 1997 dengan kerugian negara hingga Rp 138,44 triliun. Keempat, penyerobotan lahan PT Duta Palma Group yang merugikan negara hingga Rp 78 triliun. Kelima, kasus PT TPPI yang menimbulkan kerugian negara hingga 37,8 triliun. Keenam, korupsi TP Asabri yang menyebabkan terjadinya kerugian negara hingga mencapai Rp 22,7 Triliun. Ketujuh, kasus PT Jiwasraya yang menimbulkan kerugian negara hingga Rp 16,9 triliun. Kedelapan, korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya yang melibatkan pejabat Kementerian Perdagangan serta beberapa pengusaha besar. Negara dirugikan sebesar Rp 12 triliun. Kesembilan, korupsi pengadaan pesawar Garuda Indonesia yang merugikan negara hingga Rp 9,37 triliun. Kesepuluh, korupsi proyek BTS 4G yang merugikan negara hingga mencapai RP 8 triliun. Kesebelas, kasus korupsi Bank Century yang merugikan negara mencapai 7 triliun (Kontan.co.ic, 2025).

Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus korupsi paling tinggi di antara negara-negara lain di dunia. Negeri ini berada di peringkat ke-99 dari 190 negara yang paling sedikit korup. Dengan kata lain, Indonesia termasuk negara paling korup di dunia. Data ini dikeluarkan oleh Transperency International. Peringkat korupsi rata-rata Indonesia adalah 99,93 dari tahun 1995 sampai dengan 2024. Titik tertinggi sepanjang masa terjadi pada tahun 1997 dengan nilai sebesar 143,00 dan rekor terendah pada 1995 dengan nilai 41,00.

Baca juga :  Hakim Vonis Terdakwa Korupsi Dana ASABRI 2 Tahun 6 Bulan Penjara

Kondisi ini mendorong terjadinya keresahan publik sehingga memunculkan wacana hukuman mati bagi koruptor. Sebenarnya hukum Indonesia telah memiliki regulasi yang mengatur hukuman mati bagi koruptor. Aturan tersebut tercantum dalam Pasal 2 Ayat (1) dan (2) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pemberantarasan Tipikor) yang menentukan: 1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda minimal Rp 200.000.000,00 dan maksimal Rp 1.000.000.000,00; 2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Dengan demikian hukuman mati bagi koruptor dimungkinkan dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor dengan syarat yang spesifik. Adapun spesifikasi syarat yang dibutuhkan pemenuhannya agar seorang koruptor dapat dijatuhi hukuman mati adalah keadaan tertentu di mana perbuatan korupsi itu dilakukan. Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor menguraikan bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” yang menjadi syarat penjatuhan hukuman mati bagi koruptor yaitu bila tindak pidana korupsi dilakukan pada saat negara berada dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Contoh yang populer dari potensi penerapan pasal tersebut adalah pada kasus korupsi bantuan sosial oleh mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batu Bara. Namun vonis hakim tidak melibatkan Pasal 2 Ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor, melainkan Pasal 23 huruf b juncto Pasal 18 atau Pasal 11 juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasa; 64 Ayat (1) ke-1 KUHP. Hukuman yang dijatuhkan adalah pidana penjara selama 12 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta. Dapat diinterpretasikan bahwa putusan hakim pada perbuatan korupsi Juluari meskipun dilakukan semasa pandemi, namun dianggap tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan Pasal 2 Ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor. Pemerintah tidak menetapkan negara dalam keadaan bahaya, namun menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Baca juga :  JAM-Intelijen: Korupsi Infrastruktur Disebabkan Celah Sistem dan Lemah Pengawasan

Perbuatan amoral yang dilakukan Juliari dalam common sense masyarakat Indonesia harusnya pantas dihukum mati. Namun keinginan tersebut menghadapi kontroversi dari pihak penentang dan proses perjuangan yang panjang dari pihak yang mendukung pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor. Misalnya yang terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan sidang pengujian materiil terhadap Pasal 2 Ayat (1), Pasal 2 Ayat (2), dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Para pemohon merupakan tiga mahasiswa, yaitu Michael Munthe (Universitas Atma Jaya Yogyakarta), Teja Maulana Hakim, dan Otniel Raja Maruli Situmorang (Universitas Internasional Batam). Para pemohon mengajukan permohonan untuk memasukkan ancaman mati pidana mati secara langsung dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Ada tiga argumentasi pokok para pemohon. Pertama, ancaman pidana mati sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) tidak tegas dalam memberantas korupsi karena masih memberi kesempatan hidup pelaku korupsi yang telah melakukan perbuatan merugikan keuangan negara dalam jumlah besar. Kedua, hukuman mati akan memberikan efek jera, pemohon dalam hal ini berpandangan bahwa ancaman pidana mati yang dijatuhkan tanpa syarat akan memberikan efek jera bagi pihak mana pun yang telah dan berniat melakukan perbuatan korupsi. Ketiga, bagi para pemohon, hukuman mati bagi koruptor bukanlah pelanggaran HAM karena para koruptor sendiri merenggut hak asasi dan hak warga lainnya. Namun, sayangnya MK menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Menurut pendapat Mahkamah, penolakan tersebut disebabkan oleh persoalan yang bersifat formal, yakni berkaitan dengan tata cara penuntutan atau aspek lain (mkri.id, 2024).

Ada pandangan yang menentang wacana hukuman mati bagi koruptor. Penentangan umumnya datang dari pihak yang menolak hukuman mati bagi segala jenis perbuatan pidana. Pendapatnya didasarkan pada anggapan bahwa hukuman mati bertentangan dengan hak hidup, di mana hak hidup merupakan hak mendasar yang dijamin secara konstitusional dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Pihak perwakilan Komnas HAM menilai tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan pencegahan korupsi atau efek jera. Tiongkok yang selama ini menjadi model percontohan implementasi hukuman mati bagi koruptor memiliki Indeks Persepsi Korupsi yang rendah (42/100), sementara negara dengan Indeks Persepsi Korupsi yang tinggi seperti Denmark dan Finlandia justru menghapuskan hukuman mati. Argumentasi ini mudah dibantah, pelaksanaan hukuman mati bagi koruptor dilakukan Tiongkok justru karena IPK-nya masih tergolong rendah. Negara-negara dengan IPK tinggi tentu tidak memerlukan lagi hukuman mati. Alasan penentangan lainnya adalah adanya resolusi PBB yang mendorong penghapusan hukuman mati. Pihak penentang juga beralasan bahwa korupsi sendiri bukan penyakit yang sebenarnya, melainkan gejala dari adanya ketidakberesan dalam sistem. Karena itu fokusnya dialihkan dari penghukuman bagi pelaku korupsi semata-mata namun mulai memikirkan cara menjadikan agenda pemberantasan korupsi sebagai agenda pemulihan aset.

Baca juga :  Kejagung Tetapkan Mantan Kajari Buleleng Tersangka Gratifikasi

Pandangan-pandangan di atas tidak sepenuhnya tepat mengingat korupsi sendiri telah digolongkan sebagai tindak pidana luar biasa, seperti halnya terorisme, penyalahgunaan narkotika, atau pengrusakan lingkungan yang berat. Selain itu telah pula dimasukkan ke dalam golongan tindak pidana khusus yang memiliki sifat berbeda, baik dalam lembaga yang berwenang melakukan penyidikan, penuntutan, hingga hukum acara yang digunakan (mkri.id, 2024). Fakta tersebut memperjelas bahwa korupsi memiliki karakter khusus yang memungkinkankannya untuk penerapan hukuman mati. Terkait anggapan bahwa hukuman mati bagi koruptor adalah bentuk pelanggaran atas hak hidup atau hak asasi manusia, argumentasi ini dapat dibantah. Ketentuan Pasal 28J UUD 1945 telah memberikan batasan bagi jaminan perlindungan HAM. Batasnya adalah undang-undang yang dibuat dengan maksud menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan motal, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis. Dengan demikian, secara konstitusional, suatu undang-undang dapat dibentuk guna mengatur hukuman mati bagi koruptor untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain serta memenuhi tuntuntan yang adil. Perilaku koruptif secara jelas telah mengganggu hak dan kebebasan orang lain.

Dalam pandangan penulis, ketentuan Pasal 2 Ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor perlu diperluas dengan minimalisasi syarat suatu perbuatan koruptif dapat dipidana mati. Minimalisasi dapat dilakukan dengan standar yang berlandaskan pada dampak yang ditimbulkan terhadap keuangan negara dalam pemenuhan hak-hak masyarakat. Misalnya, koruptor dapat dihukum mati bila perbuatan korupsinya menyasar hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, Pasal 34 UUD 1945, subsidi, berbagai hal terkait hajat hidup orang banyak, dan lain-lain. Kriteria berikutnya berkenaan dengan besaran kerugian bagi keuangan negara. Dua kriteria ini dapat menjadi landasan pelaksanaan hukuman mati bagi koruptor karena dampak dari perbuatan itu melanggar hak asasi dan hak warga sebagaimana ditentukan dalam konstitusi.