DIKSIMERDEKA.COM, DENPASAR, BALI – Pengacara sekaligus mantan wartawan, Jro Komang Sutrisna, SH, mengkritik keras PT Pertamina (Persero) yang ia nilai telah bertindak layaknya pemilik subsidi elpiji 3 kg.

Padahal, menurutnya, Pertamina hanyalah pelaksana yang ditunjuk untuk menyalurkan subsidi dari pemerintah kepada masyarakat miskin. Ia menilai mekanisme distribusi yang diterapkan Pertamina cenderung tertutup, tidak transparan, dan berpotensi melanggar regulasi yang mengatur persaingan usaha serta kewenangan pemerintah daerah.

“PT Pertamina ini hanya pelaksana distribusi, bukan pemilik subsidi. Tapi faktanya, mereka bertindak seolah-olah berkuasa penuh atas alokasi dan distribusi elpiji subsidi, bahkan menentukan kuota kepada agen dan pangkalan tanpa keterbukaan kepada pemerintah daerah. Apa benar jumlah angka angka alokasi didistribusikan yang disiarkan Pertamina sudah valid dengan di lapangan?,” ujar Jro Komang Sutrisna, Rabu (7/2).

Lebih lanjut, Jro Sutrisna yang kini membentuk Lembaga Kajian Bali Shanti (LKBS), menyoroti bagaimana setiap tahun kuota elpiji subsidi selalu dimohon oleh pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun, sebagai pemilik barang subsidi, pernahkah pemerintah daerah melalui Dinas Perdagangan melakukan audit ke dalam sistem distribusi elpiji subsidi yang dititipkan di Pertamina?

“Pernahkah anggota dewan daerah memanggil Dinas Perdagangan, Pertamina, serta pemilik agen untuk membahas hasil audit subsidi 3 kg? Atau justru Pertamina yang ditunjuk sebagai bagian dari sistem pendistribusian malah tertutup dan berlaku layaknya pemilik subsidi, mengatur pemerintah daerah seolah-olah mereka yang berhak menentukan?” sindirnya tajam.

Ia menegaskan bahwa kontrol penuh Pertamina terhadap subsidi melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur bahwa pemerintah daerah memiliki hak dalam mengelola dan mengawasi sumber daya yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat.

Baca juga :  Pj Gubernur Bali Harap Ada Regulasi Tegas Distribusi LPG 3 Kg

Selain itu, tindakan Pertamina juga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

“Kontrol absolut tanpa transparansi ini adalah penyalahgunaan posisi dominan. Mereka bertindak seperti pemilik subsidi dan meminggirkan pemerintah daerah dari peran pengawasan. Ini jelas merugikan masyarakat dan pelanggaran,” tegasnya.

Ketua LKBS ini, juga menyoroti sistem pembayaran yang diterapkan dalam distribusi elpiji subsidi, di mana pangkalan harus membayar lebih dulu kepada agen sebelum mendapatkan pasokan.

“Sistem ini bukan hanya berisiko, tetapi juga melanggar regulasi. Ini membuka celah bagi penyalahgunaan subsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat miskin,” ujarnya.

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, pengelolaan energi, termasuk subsidi, harus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memastikan distribusinya tepat sasaran. Namun, dalam praktiknya, sistem pembayaran ini justru menimbulkan ketidakjelasan alur subsidi dan membuka ruang manipulasi harga.

Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 telah menetapkan bahwa harga jual elpiji subsidi tidak boleh lebih tinggi dari yang ditetapkan pemerintah. Namun, karena pangkalan harus membayar lebih dulu, agen yang menerima pembayaran bisa dengan mudah mengontrol harga dan menyimpangkan distribusi.

“Jika pangkalan dipaksa membayar di awal, maka agen memiliki kendali penuh. Mereka bisa menaikkan harga secara sepihak, mengalihkan pasokan ke industri, atau bahkan menjual kembali dengan harga non-subsidi. Ini jelas bertentangan dengan prinsip subsidi yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan kepentingan segelintir pihak,” tegasnya.

Lebih lanjut, Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2018 juga mewajibkan distribusi elpiji subsidi dilakukan tepat sasaran. Namun, sistem pembayaran di awal ini justru memicu praktik mark-up harga dan menimbulkan ketidakpastian distribusi.

Baca juga :  Disperindag Bali Gelar Sidak Peredaran LPG 3 Kg di Jembrana

“Tanpa pengawasan ketat dari pemerintah, sistem ini akan sulit dipantau. Pangkalan yang sudah membayar bisa saja menjual ke pihak yang membayar lebih tinggi. Pada akhirnya, masyarakat yang benar-benar membutuhkan justru sulit mendapatkan elpiji subsidi,” tambahnya.

Jro Sutrisna juga menyoroti isu pengoplosan gas subsidi yang selalu sengaja dihembuskan ke publik ketika terjadi kelangkaan elpiji 3 kg. Ia menyebut hal itu hanya sebagian kecil dari kebocoran di tingkat hilir. Menurutnya, selama ini aparat penegak hukum hanya menangkap pekerja lapangan, sedangkan aktor besar di balik sistem manipulasi distribusi gas subsidi tetap aman dan tidak tersentuh hukum.

“Setiap ada penggerebekan, yang ditangkap hanyalah buruh kasar dan operator gudang pengoplosan yang pasrah. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, ada pihak yang jauh lebih besar bersembunyi di balik transaksi distribusi di tingkat hulu” ujarnya.

Menurut Jro Sutrisna, manipulasi ini bukan sekadar pengoplosan skala kecil, tetapi bermula dari kebijakan sistematis yang menyunat alokasi gas bersubsidi dan mengalihkannya ke industri dengan harga lebih tinggi.

“Siapa yang punya kuasa melakukan ini? Tidak lain disinyalir adalah jaringan yang melibatkan oknum di Pertamina, Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE), dan agen distribusi,” katanya.

Modusnya sangat licik. Dokumen distribusi gas subsidi tetap diterbitkan, tetapi dalam praktiknya, sebagian alokasi gas 3 kg yang seharusnya untuk masyarakat miskin justru dijual ke industri atau dikemas ulang menjadi gas non-subsidi.

“Perpindahan ini terjadi secara administratif di atas kertas, bukan di lapangan, sehingga sulit dideteksi oleh aparat yang hanya fokus pada operasi kecil-kecilan,” jelasnya.

Yang menjadi pertanyaan besar, mengapa aparat hanya menangkap pemain kecil? Mengapa oknum yang melakukan manipulasi besar tetap aman?

Baca juga :  Pj Gubernur Bali Harap Ada Regulasi Tegas Distribusi LPG 3 Kg

“Jawabannya sederhana, mereka memiliki akses ke jaringan kekuasaan dan regulasi. Mereka berlindung di balik legalitas dokumen yang telah dimanipulasi, seolah-olah distribusi berjalan sesuai aturan, padahal yang terjadi adalah penyunatan subsidi secara sistematis,” tegas Jro Sutrisna.

Ia menilai bahwa selama ini publik terus dikecoh dengan penangkapan pengoplos di gudang-gudang kecil, seolah-olah itu adalah akar masalahnya.

“Kalau benar-benar ingin menegakkan hukum, yang harus diusut adalah para oknum yang mengatur alokasi subsidi di tingkat atas. Jika tidak, kejahatan ini akan terus berulang dengan wajah baru, sementara rakyat kecil tetap menjadi korban permainan kotor mereka,” tandasnya.

Untuk itu , Jro Sutrisna mendesak pemerintah daerah dan DPRD untuk segera memanggil PT Pertamina, Dinas Perdagangan, serta pemilik agen guna mempertanyakan hasil audit distribusi subsidi elpiji 3 kg. Bila perlu pemerintah daerah segera membentuk tim audit independen untuk monitoring alokasi subsidi dari berbagai lembaga.

“Jika tidak ada langkah tegas, subsidi yang berasal dari uang rakyat akan terus dikuasai oleh PT Pertamina dengan mekanisme yang tidak transparan. Ini saatnya pemerintah daerah mengambil alih kendali dan memastikan distribusi elpiji subsidi berjalan sesuai aturan,” tegasnya lagi.

Sementara itu, LKBS adalah lembaga sosial masyarakat yang dibentuk Jro Sutrisna bersama tokoh-tokoh peduli Bali dari kalangan jurnalis, tokoh masyarakat, kalangan profesi dan akademisi, untuk mensuarakan aspirasi masyarakat dan kajian data yang valid. ‘’Kami akan selalu bersuara untuk menjaga dresta, adat, seni dan budaya Bali dari berbagai sudut padang. Seperti ekomoni, hukum dan pembangunan. Dengan visi mewujudkan Bali Shanti dan Jagadhita,’’ pungkasnya.

Reporter: Irawan