Penulis: Dewa Putu Adi Wibawa, S.H.

Setelah polemik Pantai Serangan, Bali kembali dilanda kontroversi baru. Pemicunya adalah video yang mempertontonkan penggunaan visual (diduga) Dewa Siwa sebagai latar panggung pertunjukkan musik di Atlas Beach Club, Canggu. Peredaran video tersebut memicu reaksi yang keras dari banyak kalangan. Terutama umat Hindu yang berada di Pulau Bali. Reaksi tersebut banyak mengambil bentuk resistensi dan kritik keras karena Dewa Siwa sendiri merupakan representasi aspek Ketuhanan dalam sistem teologi Hindu di Bali. Gambar yang dicirikan dengan atribut khas yang melekat pada ikon Dewa Siwa terlihat dengan jelas dalam tampilan layar digital pertunjukan musik tersebut.

Video tersebut pertama kali beredar pada 2 Februari 2025. Dua hari kemudian, elemen masyarakat dari Lembaga Bantuan Hukum Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (LBH KMHDI) telah melayangkan somasi pada pihak manajemen Atlas Beach Club. Pihak manajemen kelab dituntut untuk memberikan penjelasan terkait penggunaan visual yang mengarah pada gambar Dewa Siwa.

Sehari berikutnya giliran Fraksi PDIP DPRD Provinsi Bali yang bersikap mengkritisi penggunaan visual tersebut. Penggunaan gambar yang mengarah pada simbol keagamaan dinilai tidak tepat dan berpotensi terkena jerat pemidanaan. Tidak hanya itu, Fraksi PDIP Bali mendesak aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan konkrit atas kasus tersebut. Pemerintah Provinsi Bali yang diwakili oleh Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali pun menyatakan keprihatinannya atas insiden tersebut. Pihaknya saat ini sedang melakukan kajian dan mengumpulkan materi guna kebutuhan pembuktian agar dapat menindaklanjuti kasus tersebut. Pihaknya juga saat wawancara mempertimbangkan kemungkinan untuk melayangkan teguran tertulis pada Atlas Beach Club.

Pelibatan visual yang mengarah pada gambar bercirikan Dewa Siwa dalam pertunjukan yang tak relevan dinilai melecehkan dan menodai nilai-nilai agama Hindu. Dewa Siwa merupakan salah satu manifestasi Tuhan yang sangat disucikan oleh masyarakat Hindu. Karena itu penggunaan visual berupa Dewa Siwa seharusnya dilakukan dalam kerangka ritus keagamaan yang sakral, bukan hiburan yang bersifat profan. Reaksi keras yang ditunjukkan oleh berbagai pihak memberi sinyalemen bahwa penggunaan visual yang tidak relevan terkait dengan simbol Dewa Siwa bersifat sensitif dalam masyarakat Bali.

Baca juga :  Badan Litbang Kemendagri Cari Solusi Konflik Pertanahan

Isu hukum terkait kasus ini dapat ditinjau dari Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”. Rumusan ketentuan pidana tersebut mengisyaratkan visualisasi gambar yang diduga mengarah pada gambar Dewa Siwa dapat dijerat secara pidana bila terdapat penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama Hindu.

Namun, perlu ada pembuktian mengenai keberadaan unsur kesengajaan (dolus) dan kesadaran dari pihak pelaku bahwa tindakannya merupaan penodaan terhadap agama. Berikut unsur-unsur yang terkandung dalam rumusan Pasal di atas: 1) perbuatan dilakukan di muka umum. Dalam kasus ini, penggunaan visual yang diduga gambar Dewa Siwa sebagai latar belakang pertunjukkan musik ditampilkan secara terbuka pada suatu tempat hiburan yang terbuka untuk umum. Dengan demikian unsur pertama dari ketentuan Pasal 156a KUHP telah terpenuhi;

Kemudian, 2) unsur rasa permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama. Permusuhan merupakan sikap yang mengandung unsur kebencian atau provokasi terhadap agama tertentu. Selanjutnya terjadi penyalahgunaan simbol agama dalam konteks yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Serta penodaan agama yang merupakan bentuk merendahkan, melecehkan atau menghina ajaran agama tertentu. Dalam kasus ini, masih perlu dibuktikan secara hukum mengenai penggunaan visual tersebut telah memenuhi unsur permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan agama atau tidak. Karena itu diperlukan penyelidikan mendalam guna membuktikan terpenuhinya unsur-unsur tersebut dalam tindakan yang dilakukan kelab Atlas Beach; 3) adanya unsur kesengajaan atau dolus yang merupakan elemen krusial dalam pengimplementasian Pasal 156a KUHP.

Baca juga :  Batas-Batas Hak Konstitusional DPR: Analisis Revisi Tata Tertib DPR 2025

Secara teoretis, ada tiga jenis dolus, yaitu dolus directus yang mana pelaku secara sadar dan dengan kesengajaan melakukan perbuatan yang memiliki tujuan untuk menodai agama. Selanjutnya dolus indirectus yang mana pelaku tidak memiliki niat langsung untuk melakukan penodaan agama, namun pada saat bersamaan mengetahui bahwa perbuatan tersebut bersifat menodai agama. Jenis berikutnya dolus eventualis yang mana pelaku tidak memiliki niat melakukan penodaan agama, namun menerima kemungkinan bahwa tindakannya dapat dianggap sebagai penodaan agama.

Jenis kesengajaan yang ketiga, yaitu dolus eventualis, merupakan yang paling mungkin untuk diimplementasikan dalam kasus ini. Meskipun pihak Atlas Beach Club tidak memiliki niat menodai agama Hindu, namun diduga pihak kelab berkemungkinan memahami penggunaan simbol Dewa Siwa akan berpotensi menyinggung perasaan umat Hindu, namun pihaknya tetap menggunakan simbol tersebut. Dugaan ini dikemukakan karena sulitnya membuktikan kesengajaan langsung dari pihak kelab sebelum dilakukannya penyelidikan resmi yang intensif dari aparat hukum.

Terdapat preseden yang terkenal dalam kasus penodaan agama dengan jenis kesengajaan dolus eventualis, yaitu kasus Mantan Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dijatuhi hukuman selama dua tahun penjara karena dinilai telah menodai agama Islam dalam pidatonya. Meskipun Ahok tidak berniat secara sengaja dan langsung untuk menodai agama, namun penyataannya dinilai telah menyinggung umat Islam sehingga dianggap memenuhi unsur penodaan agama. Demikian pula kasus Lia Eden yang mengaku sebagai reinkarnasi dari Bunda Maria dan mengubah beberapa unsur ajaran Islam. Meskipun tidak secara sengaja dan langsung berniat menodai agama, namun perbuatan Lia Eden dianggap menodai agama hingga akhirnya divonis 2 tahun penjara oleh pengadilan.

Dua kasus tersebut memiliki relevansi tertentu dengan kasus Atlas Beach Club adanya dugaan (yang masih perlu dibuktikan) menggunakan simbol agama tertentu pada konteks ruang dan waktu yang tidak seharusnya, sehingga dapat ditindak secara hukum. Oleh karena Pasal 156a KUHP bukan termasuk delik aduan (delicta complainata) yang bermakna suatu tindak pidana hanya dapat diproses sejauh ada pengaduan dari korban atau pihak yang merasa dirugikan, melainkan delik biasa (delicta ordinaria), maka kasus Atlas Beach Club dapat diproses oleh aparat penegak hukum tanpa memerlukan pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan atau dilecehkan. Aparat penegak hukum dapat melakukan pemrosesan bila kasus ini dinilai mengganggu ketertiban umum dan stabilitas masyarakat.

Baca juga :  Batas-Batas Hak Konstitusional DPR: Analisis Revisi Tata Tertib DPR 2025

Namun, dalam praktiknya, penerapan Pasal 156a KUHP kerap dikritik karena inkosistensi serta kebergantungannya terhadap tekanan masyoritas. Penegakan hukum terkait penodaan agama sering kali dipengaruhi oleh opini publik. Selain itu, kritik terhadap Pasal 156a KUHP juga menyangkut implikasi terhadap peningkatan eskalasi konflik yang dalam kasus di Bali mungkin saja terjadi antara kelompok umat beragama dan industri pariwisata. Kritik juga berkenaan dengan iklim demokrasi dan kebebasan berekpresi. Kritik terakhir ini bersifat signifikan karena demokrasi dan kebebasan berekspresi terkait erat dengan kreativitas yang menjadi bagian integral dalam konteks pariwisata Bali.

Meski demikian, perasaan umat beragama dan potensi stabilitas sosial pun harus dipertimbangkan dalam menyikapi kasus Atlas Beach Club. Karena itu, selain pendekatan hukum, maka diperlukan alternatif penyelesaian seperti dialog dan edukasi maksimum pada seluruh pihak mengenai simbol-simbol tertentu yang tidak dapat dipergunakan secara sembarangan untuk kepentingan di luar keharusannya.

Berdasarkan informasi yang beredar, pihak kelab telah mengajukan permintaan maaf dan berniat melakukan gelar guru piduka sebagai pertanda itikad baik memulihkan situasi. Namun dalam pendapat penulis diperlukan pendekatan dalam kerangka pelaksanaan edukasi maksimum. Hal ini bertujuan agar seluruh pihak berhati-hati dalam menggunakan simbol-simbol sakral yang disucikan masyarakat, mengingat konstitusi dan hukum memberi jaminan perlindungan bagi umat beragama termasuk keyakinannya.