Setelah Meguru Piduka Apakah Atlas Beach Club Dapat Dimaafkan Secara Hukum?
Penulis: Dewa Putu Adi Wibawa, S.H.
Pada 30 Januari 2025, dalam pertunjukan musik di Klub Atlas Beach, Canggu, Bali, ditayangkan visual yang diduga sebagai gambar Dewa Siwa pada backdrop videotron di belakang DJ. Visual tersebut ditayangkan dalam durasi sepanjang 1 menit 5 detik pada pukul 23:44 WITA. Informasi yang berkembang mengungkap bahwa gambar tersebut diunduh dari internet dan dipilih tanpa proses seleksi yang tepat oleh tim show. Tiga hari kemudian atau tanggal 2 Februari 2025, video kejadian tersebut beredar luas di media sosial yang sontak memicu reaksi keras dari para pengguna media sosial.
Respons perwakilan elemen masyarakat Bali pertama kali datang dari Lembaga Bantuan Hukum Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (LBH KMHDI) yang melayangkan somasi kepada manajemen Klub. Respons selanjutnya dilakukan oleh Fraksi PDIP Bali yang mendesak agar aparat hukum secepatnya melakukan tindakan atas dugaan penodaan simbol agama. Dalam perkembangannya sebagian fraksi di DPRD Bali menerima aspirasi masyarakat untuk melakukan penutupan klub tersebut. Sementara itu, Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Pariwisata Bali menyatakan keprihatinan dan mulai mengumpulkan bukti untuk menindaklanjuti kasus tersebut. Berbagai elemen masyarakat Bali, termasuk di dalamnya tokoh adat dan agama bersikap tegas meminta proses hukum berjalan pada pihak yang bertanggung jawab. Kepolisian Daerah Bali sendiri telah melakukan proses penyelidikan, namun hingga disusunnya tulisan ini belum diketahui adanya penetapan tersangka.
Pendapat berbeda diajukan oleh Pimpinan Partai Kebangkitan Nusantara sekaligus advokat, Gede Pasek Suardika. Dalam pandangan yang dibagikan melalui akun Facebooknya, Suardika menyatakan bahwa pemberian teguran kepada Atlas sangat bagus sebagai respons tegas terhadap keteledorannya. Namun penutupan paksa dengan dalih keteledoran tersebut dinilainya berlebihan. Kemudian ia membandingkan aksi protes pada Klub Finns Beach yang diduga melecehkan Sulinggih di Bali. Suardika menilai adanya perbedaan perlakuan dalam menghadapi kedua kasus. Ia khawatir penutupan Klub Atlas Beach akan membawa dampak bagi umat Hindu yang bekerja di sana. Suardika lantas meminta agar kesalahan klub tersebut atas dugaan pelecehan simbol agama dibuktikan terlebih dahulu secara hukum. Pembuktian diperlukan guna memperjelas beban pertanggungjawaban ada pada perseorangan karyawan atau korporasi.
Cara berpikir demikian sejalan dengan sikap yang diajukan oleh Lembaga Kajian Bali Shanti. Lembaga Kajian ini menyebut pemecatan terhadap operator dan tim lapangan oleh Klub Atlas Beach dinilai sebagai bentuk “cuci tangan” perusahaan tanpa penyelidikan lebih lanjut. Klub menilai operator dan tim lapangan adalah pihak yang bertanggung jawab atas insiden tersebut. Sebagaimana pendapat Suardika di atas, seharusnya dilakukan penyelidikan hukum yang menyeluruh guna memastikan pertanggungjawaban ada di pundak karyawan atau malah korporasi. Tapi dalam hal ini pemecatan terburu-buru dilakukan pada karyawan. Karena itu tidak dapat disalahkan jika sebagian pihak menilai hal itu sebagai tindakan “cuci tangan”.
Penulis dalam kesempatan ini berbeda pendapat dengan pandangan yang diajukan Gede Pasek Suardika. Utamanya terkait pembedaan dalam penyikapan dua kasus, yaitu Klub Finns Beach dan Klub Atlas Beach. Pembedaan keduanya tidak berarti pihak Klub Atlas Beach dapat dimaafkan atas dugaan perbuatan pidana. Analogi dari pembedaan tersebut dapat ditemukan dalam kasus pengendara sepeda motor tak mengenakan helm yang diberhentikan anggota polisi untuk ditindak secara hukum. Namun, pada saat bersamaan, ada pengendara sepeda motor lain yang juga tak mengenakan helm tapi tidak ditindak oleh anggota polisi tersebut. Dalam kasus ini prasangka politis dan berbagai bentuk spekulasi tidak perlu dimajukan mengingat adanya kemungkinan kapasitas penindakan anggota kepolisian tersebut yang tidak sanggup menangani dua kasus yang sama dalam waktu bersamaan. Kemungkinan-kemungkinan lain pun terbuka lebar. Namun, faktanya, tidak lolosnya pengendara tak berhelm dari penindakan tidak membuat pengendara yang telah tertangkap memperoleh pemaafan. Hukum tetap harus ditegakkan. Demikian pula halnya dengan kasus Klub Atlas Beach yang memperoleh perhatian lebih besar dan respons lebih kuat dari banyak pihak, tidak perlu spekulasi berlebih terkait adanya pembedaan dibanding kasus sebelumnya. Ada kemungkinan faktor perasaan “jengah” Orang Bali pada kesalahan berulang kali yang dilakukan berbagai pihak di negerinya sendiri, dan ini tanpa pandang bulu. Bagaimanapun, hukum tetap harus ditegakkan.
Dalam pandangan Pasek Suardika yang lain, penulis sependapat bahwa pembuktian dalam kasus ini diperlukan. Hanya saja bagi penulis pembuktian tersebut tidak hanya terkait efektivitas sasaran atau penetapan secara tepat pihak yang paling bertanggung jawab, melainkan penegakan hukum secara tegas bagi pihak-pihak yang terbukti melakukan penodaan atas simbol-simbol agama. Pihak klub sendiri telah berusaha melakukan berbagai upaya guna meredakan situasi. Usaha yang dilakukan di antaranya dengan menggelar upacara Guru Piduka di beberapa tempat suci di Bali. Upacara ini digelar dimaksudkan sebagai bentuk permohonan maaf secara niskala (menyangkut aspek Ketuhanan) maupun komitmen permintaan maaf pada publik. Dalam pemberitaan disebutkan ratusan karyawan klub berpartisipasi dalam upacara tersebut sebagai tanda penyesalan dan bertujuan pula meredakan ketegangan di masyarakat. Selain itu, pihak klub juga meminta maaf kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali.
Pertanyaan yang mengemuka dari beragam usaha dan pengakuan rasa bersalah pihak klub, bahkan tindak pemecatan atas pihak yang dalam penilaian manajemen bertanggung atas kasus ini, apakah proses hukum dapat dihentikan begitu saja? Upacara Guru Piduka yang melibatkan partisipasi ratusan karyawan beserta penindakan internal dapat dipandang sebagai langkah yang berakar dari itikad baik pihak klub dalam meredakan ketegangan di masyarakat. Namun, secara hukum, langkah tersebut tidak secara serta merta menghapus perbuatan pidana yang diduga telah dilakukan. Adapun dalilnya adalah sebagai berikut: 1) Pasal 156a KUHP merupakan delik biasa (delicta ordinaria) yang berarti aparat penegak hukum dapat melakukan penindakan tanpa adanya laporan dari korban; 2) Permintaan maaf atau upacara keagamaan tidak menghilangkan unsur pidana bila unsur-unsur dalam Pasal 156a KUHP telah berhasil dibuktikan dalam proses penyelidikan; 3) Preseden kasus sebelumnya seperti dalam kasus Ahok dan Lia Eden, keduanya telah meminta maaf sebagai sikap pernyataan rasa bersalah, namun hal tersebut tidak membuat proses hukum terhenti begitu saja.
Namun, sebagai catatan akhir, penegakan hukum dalam kasus dugaan penodaan agama oleh pihak Klub Atlas Beach, sebagaimana kasus sebelumnya, bergantung pada tekanan masyarakat dan respons pemerintah daerah. Dengan kata lain, penyelenggaraan upacara Guru Piduka dan permohonan maaf massal pihak klub pada masyarakat Bali dapat menjadi peluang bagi proses mediasi dan penyelesaian yang lebih restoratif. Selanjutnya, sanksi administratif juga dapat menjadi alternatif penyelesaian berupa sanksi teguran, denda atau penutupan sementara.
Tinggalkan Balasan