RUU Penyiaran: Antara Ancaman dan Peluang bagi Demokrasi Media di Indonesia
Oleh: Anak Agung Gede Ananta Wijaya Sahadewa SH MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Warmadewa
Perubahan UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 sudah diajukan sejak Desember 2019 silam dan telah masuk pada Prolegnas Tahun 2020-2024. Namun proses revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di Indonesia menuai kontroversi. Pasal 25 Ayat (1) huruf Q dalam Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang baru, memberikan kewenangan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran.
Pemberian kewenangan ini dikhawatirkan akan mengancam kebebasan pers. Pasalnya, Dewan Pers, lembaga yang selama ini berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik, dirasa lebih tepat untuk menangani permasalahan ini.
Menurut Pasal 15 Ayat (2) Huruf D UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikanpertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduanmasyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Beberapa pihak menilai, pemberian kewenangan baru kepada KPI ini bertentangan dengan UU Pers dan dikhawatirkan akan berdampak pada independensi jurnalistik. Pasal 56 Ayat (2) Huruf C dalam Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang baru memicu kekhawatiran serius. Padahal jurnalisme investigasi ini merupakan strata tertinggi dari karya jurnalistik, sehingga jika dilarang akanmenghilangkan kualitas jurnalistik yang ada di Indonesia.
Pasalini melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi, menimbulkan spekulasi bahwa pasal ini bertujuan untuk membungkam suara kritis dan meredam semangat reformasi yang diperjuangkan sejak 1998. Munculnya Pasal 56 Ayat (2) Huruf C diinterpretasikan sebagai upaya untuk mengintervensi dan membungkam pers di era reformasi.
Ketentuan pelarangan penayangan eksklusif jurnalisme investigasi dalam RUU Penyiaran dikhawatirkan akan menghambat peran penting jurnalisme dalam mengungkap fakta dan kebenaran, serta mengawasi kinerja pemerintah dan korporasi untuk disampaikan kepada publik.
Penting untuk diingat bahwa peran jurnalisme berbeda dengan Aparat Penegak Hukum. Jurnalisme bertugas mengungkap fakta dan kebenaran, sedangkan Aparat Penegak Hukum fokus pada penyelidikan dan penegakan hukum.
Pencampuradukan peranini dapat berakibat fatal bagi jurnalisme investigasi dan demokrasi di Indonesia. Jurnalisme yang kritis dan independen menjadi pilar penting dalam mengawasi kinerja pemerintah dan korporasi, serta melindungi hak-hak masyarakat.
Ketentuan pada Pasal 56 Ayat (2) Huruf C pun bertentangan dengan semangat Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang secara tegas menyatakan bahwa”Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran”.
Dilansir dari rri.co.id Ubaidillah, Ketua KPI Pusat mengatakan bahwa dari beberapa diskusi, Komisi I menyampaikan bahwa revisi Undang-Undang Penyiaran akan dikejar selesai di periode ini. Target tersebut juga sejalan dengan masa periode DPR RI saat ini yang berakhir pada 2024. RUU Penyiaran ini perlu direvisi kembali demi mewujudkan kehidupan demokrasi yang lebih bermutu.
Harmonisasi antar peraturan perundang-undangan juga menjadi pr yang harus diperhatikan oleh lembaga pembuat regulasi agar tidak terjadi tumpang tindih antara tugas KPI dengan Dewan Pers.
Mari kita kawal bersama proses revisi Undang-Undang Penyiaran ini agar menghasilkan regulasi yang berpihak pada kepentingan rakyat dan demokrasi di Indonesia.
Tinggalkan Balasan