Penulis: Dewa Putu Adi Wibawa

Dedi Mulyadi saat ini menjadi kampiun di antara enam gubernur di Pulau Jawa dalam kepuasan publik terkait kinerja. Sebanyak 95% warga Jawa Barat menyatakan puas atas kinerja gubernurnya. Tingkat kepuasan publik tersebut diperoleh melalui survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia yang digelar pada 12 hingga 19 Mei 2025 dengan melibatkan jumlah responden yang berbeda-beda. Adapun 500 responden dipilih secara acak di DKI Jakarta, 600 responden masing-masing di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serta 400 responden masing-masing di DIY dan Banten.

Hasil survei di atas sebenarnya tidak mengejutkan. Dedi telah tampil secara fenomenal sejak awal pelantikannya. Nomina sosial “bapak aing” sedemikian populernya sehingga masyarakat di luar Jawa Barat menggunakannya sebagai imajinasi bagi gubernur ideal mereka. Dedi alias “bapak aing” menjadi ukuran masyarakat di berbagai daerah dalam menilai kinerja gubernurnya masing-masing. Kebijakan yang dikeluarkannya, sekontroversial apa pun itu, memperoleh dukungan publik yang luas. Misalnya saja kebijakan pembinaan siswa berperilaku khusus di barak militer yang mendapat tentangan dari organisasi guru, KPAI, dan lain-lain, tetap didukung. Bahkan, pihak-pihak yang melancarkan penentangan mendapat sentiment negatif dari netizen.

Popularitas Dedi Mulyadi mengingatkan pada sosok Jokowi di awal kemunculannya ke atas panggung politik nasional. Kombinasi dari citra kepemimpinan yang merakyat (populis), pemanfaatan secara efektif media sosial, serta satu hal yang justru tidak dimiliki Jokowi namun menjadi ciri khas Dedi yaitu representasi budaya lokal dan identitas kolektif Kesundaan. Ketiga elemen itu dapat terartikulasi dengan baik mengonstruksi citra positif Dedi karena trend pergeseran lanskap komunikasi politik ke arah dominasi pemanfaatan media sosial. Platform media sosial membuka kemungkinan terjadinya interaksi langsung antara politisi dan konstituen, serta memudahkan percakapan antara keduanya. Media sosial telah bertransformasi menjadi model partisipasi yang mengintroduksi perubahan signifikan kepada masyarakat. Hal ini yang menjadikannya referensi utama masyarakat dalam mengonsumsi isu-isu politik.

Dedi Mulyadi dan Jokowi merupakan figur yang paling menonjol dalam memanfaatkan strategi pencitraan. Kepercayaan publik yang tinggi dilandasi oleh pendekatan “merakyat” dan pemanfaatan media baru yang inovatif dalam membangun kesan baik. Dedi Mulyadi memulainya secara aktif sejak masa keanggotaannya di DPR. Media sosial dari berbagai platform seperti YouTube, Facebook, dan Instagram dimaksimalkannya untuk mempresentasikan diri dan kinerja secara langsung kepada masyarakat. Demikian pula dengan Jokowi yang konsisten mengonstruksi citra kerakyatan melalui beragam strategi komunikasi sejak masa menjabat sebaga wali kota di Surakarta. Keduanya secara ekstensif memanfaatkan platform media sosial sebagai kanal utama untuk berinteraksi secara langsung dengan masyarakat, mempublikasikan kegiatan, dan membangun personal branding.

Baca juga :  Presiden Jokowi Tegaskan Komitmen Setop Impor Barang Mentah

Pemanfaatan media sosial sebagai elemen kunci strategi para politisi, menandai adanya peralihan fundamental praktik komunikasi politik. Tidak lagi sepenuhnya bergantung pada media konvensional, bebas dari filtrasi editorial sehingga politisi-politisi itu lebih mudah mengendalikan produksi wacana dan pembangunan narasi sesuai kepentingannya. Situasi ini mendorong berlangsung demokratisasi media yang memungkinkan politisi membangun hubungan secara langsung dengan konstituen. Namun persoalannya, jalan bagi diseminasi informasi yang tak lagi terkontrol dan pesan yang semakin dipersonalisasi memunculkan potensi pelemahan peran jurnalisme kritis dan wacana publik yang terinformasi secara kredibel. Tingkat kepedulian terhadap kebenaran informasi cenderung menurun. Berlimpahnya informasi yang berasal dari berbagai produsen informasi menciptakan pembelahan masyarakat berdasar selera. Orang-orang tidak lagi mencari informasi yang benar, namun lebih cenderung mencari informasi yang disukainya. Tidak berlebihan bila beberapa pengamat mengidentifikasi era ini sebagai era berjayanya post-truth, di mana fakta objektif kurang berpengaruh dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi dalam membentuk opini publik.

Kesamaan berikutnya antara Dedi Mulyadi dan Jokowi adalah dalam memanfaatkan narasi sederhana dengan daya tarik emosional. Jokowi menggunakan komunikasi sederhana, lugas, dan gaya komunikasi sehari-hari dengan pemeragaan hubungan berbasis empati. Demikian pula dengan Dedi, menggunakan imagologi yang didefinisikan sebagai kombinasi antara “kata” dan “gambar” yang saling menjalin sedemikian rupa sehingga membentuk narasi yang utuh. Imagologi memungkinkan Dedi untuk menggambarkan citra diri seperti yang diinginkannya kepada publik. Strategi ini sering memperoleh serangan dari lawan-lawan politiknya melalui pemberian julukan “gubernur konten”. Serangan itu ditangkis dengan data yang mengungkap fakta keberhasilannya menerapkan efisiensi anggaran humas.

Melalui pendekatan imagologis, bukan saja informasi yang disampaikan, namun juga sekaligus pengonstruksian persepsi publik tentang norma dan ekspektasi politik. Konsistensi Dedi menyajikan citra dirinya sebagai pemimpin yang bekerja keras dan memiliki kepedulian akan membuat diterimanya citra tersebut sebagai kenyataan. Hal ini berpotensi menetapkan standar legitimasi politik baru di kalangan masyarakat. Pendekatan imagologis Dedi mengedepankan citra dan konflik atau kontroversi untuk membangkitkan emosi sebagai cara menjaga brand awarenessnya. Penggunaan konflik dan kontroversi merupakan strategi polarisasi yang berguna bagi konsolidasi dukungan. Misalnya kontroversi yang mengikuti kebijakan siswa dan barak militer yang membuatnya bertentangan dengan KPAI dan beberapa pihak. Situasi ini justru memperkuat dukungan terhadapnya. Kemampuan untuk terhubung secara emosional dengan publik dan mensimplifikasi isu-isu kompleks adalah mekanisme inti mobilisasi populisme yang lebih kuat dibanding argumentasi rasional.

Baca juga :  Tanggapi PSBB, Presiden: Masyarakat Bisa Aktivitas Terbatas, Tapi Ikuti Protokol Kesehatan

Dedi mengonstruksi dirinya sebagai figur populistis melalui manajemen impresi dan produksi narasi anti kemapana. Impresi publik dikelola melalui strategi yang mencakup 𝑖𝑛𝑔𝑟𝑎𝑡𝑖𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 (menyangkut rasa suka orang lain), 𝑠𝑒𝑙𝑓 𝑝𝑟𝑜𝑚𝑜𝑡𝑖𝑜𝑛 (agar terlihat sebagai pemimpin yang bekerja keras dan peduli), serta 𝑒𝑥𝑒𝑚𝑝𝑙𝑖𝑓𝑖𝑐𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 yang berkenaan dengan moralitas, komitmen ideologis serta keberpihakan, dan pengorbanan pribadi. Sedangkan narasi anti kemapanan dapat diamati sejak ia menjabat sebagai Wakil Bupati Purwakarta pada tahun 2003. Dedi terkenal dengan figur yang ramah, murah senyum, menggunakan baju tradisional, dan ikat kepala. Penampilan ini membedakannya dari pejabat lain yang terbiasa menggunakan pakaian resmi. Ia lebih memilih dipanggil “akang” dibanding ”pak” yang mengindikasikan penolakannya pada formalitas birokrasi. Bukan hanya berguna sebagai identitas personal, sikap ini sekaligus merupakan strategi manajemen impresi dalam menguatkan narasi anti kemapan dan formalisme birokratis.

Narasi lain yang diamplifikasi oleh sikap dan tindakan Dedi adalah nasionalisme dan proteksionisme lokal. Penekanannya diletakkan pada perlindungan terhadap kesucian tanah dan kampung, hutan, dan air sebagai bagian dari tradisi leluhur yang harus dijaga. Video dan gambar yang menampilkan Dedi menunjukkan kesedihan saat melihat kerusakan alam di kawasan Puncak beredar viral di media sosial. Fakta ini memperkuat citranya sebagai pemimpin yang peduli. Dukungan besar datang dari segmen spesifik seperti kaum tradisionalis, masyarakat adat, dan golongan minoritas. Dedi melalui karakteristiknya yang dekat dengan tradisi menjadikannya figur yang paling dekat dan mampu merepresentasikan inklusivitas. Ini serupa dengan eskalanasi narasi kebhinekaan di era Jokowi.

Seperti halnya Jokowi, pola komunikasi yang diterapkan Dedi secara teoretis berada dalam kerangka komunikasi populis. Engesser, dkk berpendapat bahwa aktor populis, seperti Dedi dan Jokowi, memosisikan rakyat di atas segalanya. Ini terlihat dari video dan gambar yang menampilkan kedekatan dan penghormatan Dedi pada rakyat kecil seperti bertegur sapa dengan sopir truk sampah, menggendong anak-anak, dan menepuk pundak petani sebagai tanda keakraban. Moffitt dan Tormey menambahkan bahwa populisme berguna sebagai repertoar penampilan politik yang menempatkan politisi sebagai pemimpin dengan klaim keterwakikan rakyat berhadapan dengan elit korup. Tidak jarang pembangunan narasi krisis dilakukan untuk menguatkan kehadirannya sebagai representasi pemimpin yang membela rakyatnya. Melawan premanisme, tambang ilegal, dan pedagang nakal. Isu tantangan perwakilan ormas tertentu pada Dedi yang beredar luas di media sosial (narasi krisis) semakin menguatkan dukungan publik padanya.

Baca juga :  Presiden Sampaikan Pandemi Covid-19 Beri Hikmah dalam Pembelajaran Siswa

Metode komunikasi yang digunakannya pun bernada nonkonvensional. Ia kerap berbicara “ceplas-ceplos” menggunakan bahasa sehari-hari, termasuk pula Bahasa Sunda kasar, dan menggunakan judul video mirip media tabloid. Pendekatan berciri teatrikal seperti ini memperlihatkan Dedi layaknya aktor panggung algoritmik media sosial, yang memiliki keserupaan dengan simulakra Baudrillard, yakni penampilan yang “lebih nyata dari kenyataan.” Dedi Mulyadi mengikuti Jokowi, tampil dalam bingkai estetika populistis yang mempertontonkan aksi-aksi one man show dalam menyelesaikan permasalahan rakyat.

Setelah Jokowi turun dari panggung utama politik nasional, Dedi Mulyadi adalah sosok berikutnya yang berhasil menggantikannya dengan pendekatan dan strategi komunikasi politik nyaris sama. Dukungan yang semakin luas dari masyarakat menjadikannya tipe ideal pemimpin yang dianggap bekerja keras dan dekat dengan rakyat. Ia berhasil membawa standar kepemimpinan baru dalam diskursus publik, yaitu pemimpin dengan ciri populisme yang kuat. Penulis khawatir bahwa pemanfaatan strategi dan pendekatan komunikasi politik yang populistis serta bertumpu pada media sosial akan membawa ekses tertentu. Preferensi publik lebih terpengaruh sensasi dibanding sebstansi. Selain itu, ada kemungkinan muncul potensi delegitimasi prosedur serta institusi formal yang tergantikan oleh loyalitas emosional terhadap figur pribadi. Terjadi pula polarisasi dan sentimen anti kritik akibat penggunaan narasi populis dan strategi imagologis yang mudah beredar luas. Pihak yang kritis terhadap kebijakannya akan dipandang musuh rakyat sehingga ruang dialog rasional dan demokratis semakin sempit. Semoga saja ini hanya kekhawatiran.