Penulis: Dewa Putu Adi Wibawa

Hari ini adalah tanggal kelahiran Bung Karno yang ke-124 tahun. Bukan hanya karena terlahir di bulan Juni saja yang membuat bulan ini dinamai “Bulan Bung Karno, gagasan besar Bung Karno tentang dasar negara yang dinamai Pancasila dan waktu wafatnya pun terjadi di bulan yang sama. Hanya berbeda tahun saja untuk tiap-tiap peristiwa. Keunikan itu yang membuat Juni menjadi bulan yang memiliki keterkaitan erat dengan Bung Karno.

Beberapa waktu lalu, Ketua DPD Partai Golkar Bali I Nyoman Sugawa Korry membuat pernyataan yang menarik. Dalam apresiasinya pada PDIP dan Pemerintah Provinsi Bali yang menggelar Bulan Bung Karno sejak 2018, ia mengatakan “menurut kami, di samping apresiasi terhadap Bung Karno, kami juga apresiasi jasa-jasa para mantan presiden yang lain. Kami juga apresiasi jasa-jasa para mantan presiden yang lain seperti, Pak Harto, B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY dan Pak Jokowi.” (Detik.com, 2025). Lebih lanjut dinyatakannya seluruh Presiden dengan cara dan kebijakannya masing-masing memiliki andil besar untuk tegaknya NKRI dan kemajuan bangsa. Saat ditanya apakah Golkar Bali akan menggelar Bulan Bung Karno atau mantan presiden lainnya, Korry menegaskan masih berkonsentrasi menyiapkan musyawarah daerah.

Sebelumnya diketahui DPD PDIP Bali melalui Ketua Bidang Ideologi, I Ketut Suryadi alias Boping, menyebut banyak partai masih malu-malu ikut merayakan Bulan Bung Karno karena berasal dari embrio Orde Baru. Bahkan ditegaskannya “Bali sudah memperingati itu dengan semua komponen dengan surat edaran, tapi sekarang PDI Perjuangan yang memang secara ideologis biologis seolah-olah PDIP yang memiliki Bung Karno.”

Pernyataan yang dikeluarkan Ketua Bidang Ideologi DPD PDIP Bali dan tanggapan dari Ketua Bidang Ideologi DPD Golkar Bali lebih dari sekedar penyelenggaraan sebuah acara dalam karakter seremonialnya. Pernyataan keduanya membuka jalan masuk ke dalam kontestasi wacana historis, klaim legitimasi ideologis, dan strategi politik yang berlangsung pada level lokal. Tanggapan Ketua DPD Golkar Bal, Korry, mengekspresikan strategi politik yang defensif sekaligus taktis dalam menavigasi perangkap naratif yang dipasang melalui pernyataan Boping selaku Ketua Bidang Ideologi DPD PDIP Bali.

Pernyataan Korry (Golkar) yang mengapresiasi seluruh mantan presiden dari Soeharto hingga Jokowi, termasuk Bung Karno, merupakan sejenis retorika yang mengandalkan strategi ekuilibrasi (penyetaraan). Bukannya membantah langsung klaim Boping (PDIP), Korry justru mengalihkan fokus meluaskan cakupan dengan memberi penekanan bahwa seluruh mantan presiden berjasa pada bangsa dan negara. Secara diplomatis dan politis, ini merupakan langkah aman sekaligus sikap yang inklusif. Pendekatan komunikasi ini merefleksikan usaha untuk tidak memonopoli narasi historis sehingga memusat pada satu figur tertentu saja. Faktanya memang setiap presiden dari Bung Karno hingga Jokowi memiliki sumbangsih masing-masing dalam pembangunan bangsa. Namun, sikap defensif dan diplomatis tersebut dapat diinterpretasikan sebagai cara untuk mengantisipasi keterjebakan Golkar dalam konflik ideologis terbuka dengan PDIP di ruang publik.

Kendati berkarakter inklusif dan aman secara diplomatis, namun pernyataan Korry bermasalah secara historiografis karena mengandung potensi penisbian sejarah. Pernyataan tersebut berkecenderungan dehistorisisasi, abai pada konteks, tendensi ideologi, dan dampak spesifik dari setiap rezim. Bung Karno memiliki kedudukan yang unik dan spesifik dalam sejarah. Perannya sebagai proklamator kemerdekaan hanya bisa dibandingkan dengan Bung Hatta. Beberapa orang tuna literasi kesejarahan di luar sana yang telah mensimplifikasi peran Bung Karno sebagai proklamator sebatas hadiah fasisme Jepang, dan sekedar pembaca teks proklamasi. Kesembronoan berpikir semacam itu perlu ditantang dengan pertanyaan berikut: “Bila benar proklamasi kemerdekaan hanya hadiah dari Jepang, lalu mengapa terjadi drama penculikan oleh pemudah-pemuda aktivis kemerdekaan yang mendorong Bung Karno dan Bung Hatta untuk keluar dari skenario kemerdekaan yang telah didiskusikan dengan Jepang?”.

Penculikan tersebut terjadi bukan karena kepatuhan keduanya pada Pemerintahan Pendudukan Jepang, melainkan cerminan dari kehati-hatian dari para pejuang kawakan ini yang memiliki wawasan luas merangkum perjuangan bangsa-bangsa di seluruh dunia, dan pengalaman praktis yang panjang dalam melawan kolonialisme Belanda. Pertanyaan berikutnya yang bertujuan menantang sinisme dari kaum tuna literasi kesejarahan tersebut ialah “bila benar proklamator kemerdekaan hanya sekedar membaca teks proklamasi, lantas mengapa pemuda-pemuda aktivis kemerdekaan mendorong Bung Karno membacakan teks tersebut, bukan pejuang lain seperti Sutan Sjahrir atau Tan Malaka yang lebih populer di kalangan pemuda?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dielaborasi lebih mendalam pada tulisan lain yang khusus mengulas tentang historisitas perjuangan Bung Karno. Bukan dalam tulisan ini.

Bung Karno bukan pula sekadar presiden yang menjalankan peran kepemimpinan setelah Indonesia berhasil merdeka, ia adalah tokoh sentral dalam perjuangan merebut kemerdekaan dari kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang. Peran lain yang tak tergantikan dan tak dapat pula dibandingkan dengan presiden-presiden setelahnya adalah perumusan Pancasila sebagai dasar negara. Bung Hatta sebagai saksi sejarah sidang-sidang Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menyatakan bahwa Bung Karno merupakan satu-satunya peserta sidang yang menjawab pertanyaan Radjiwan Wedyodiningrat tentang dasar negara. Dengan demikian, Bung Karno lebih dari sekedar politisi, ia pemikir sekaligus ideolog.

Peran historis sebesar itu yang membuat Bung Karno tidak dapat dibandingkan dengan presiden-presiden setelahnya. Menyamakan kedudukannya secara langsung dengan presiden lain tanpa mencantumkan konteks sumbangsihnya dalam sejarah yang unik dapat dianggap sebagai tindakan pengurangan bobot simbolis dan ideologis Bung Karno dalam sejarah Indonesia. Selain itu, pernyataan semacam itu dapat dipandang pula sebagai pengapabaian nilai penting edukasi prinsipil mengenai sejarah pendirian bangsa. Perlu ditegaskan bahwa Bung Karno bernilai penting bukan hanya karena statusnya sebagai presiden dan jasa-jasanya sebagai presiden, namun karena peran kesejarahannya dalam memerdekakan bangsa dan gagasannya yang brilian telah menjadi aspek fundamental dari negara Indonesia merdeka. Tidak hanya itu, Bung Karno punya arti tersendiri bagi Masyarakat Bali. Mengingat ia terlahir dari seorang wanita Bali. Sejauh ini, ia adalah satu-satunya presiden Indonesia yang merupakan keturunan Bali langsung.

Terlepas dari permasalahan serius yang terkandung dalam pernyataan Korry (Golkar), kritik yang dilancarkan Boping (PDIP) dengan memberi penekanan pada keterkaitan ideologis dan biologis (yang mengacu pada status Ketua Umum PDIP sebagai putri Bung Karno) PDIP dengan Bung Karno, serta stereotifikasi terselubung melalui kata-kata sindiran “embrio Orde Baru” pada partai yang menurutnya masih malu-malu ikut merayakan Bulan Bung Karno dapat mengganggu kontruksi kebangsaan yang inklusif. Padahal gagasan-gagasan Bung Karno secara konsisten mempromosikan persatuan nasional. Selain itu, transformasi secara organisasional dan politik dari partai-partai setelah keruntuhan rezim Orde Baru membuat partai-partai tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari Orde Baru secara langsung. Kendati demikian, konsistensi PDIP mengglorifikasi figur dan gagasan Bung Karno sudah selayaknya diapresiasi karena berkontribusi positif dalam pendidikan karakter kebangsaan di tengah-tengah dominasi pragmatisme politik dewasa ini.

Arti penting Bung Karno tidak hanya karena statusnya sebagai presiden sehingga begitu saja dapat diperbandingkan dengan presiden-presiden sesudahnya yang juga masing-masing memiliki jasa bagi bangsa, melainkan karena peranannya sebagai tokoh sentral perjuangan kemerdekaan bersama Bung Hatta dan kawan-kawan serta sumbangsih gagasannya bagi dasar negara dan negara secara keseluruhan. Peran Bung Karno di luar statusnya sebagai presiden tersebut yang membuat kesejarahan figurnya tidak dapat direduksi menjadi sama dengan presiden lain dengan jasanya masing-masing. Selain itu, Bung Karno adalah “milik bangsa” demikian pula gagasannya yang telah diwariskan pada seluruh anak bangsa, sehingga figur dan gagasannya tidak dapat dimonopoli oleh kelompok manapun. Justru sudah waktunya seluruh elemen bangsa berlomba-lomba meneladani semangat perjuangan Bung Karno dan menghidupkan gagasan-gagasannya melalui studi, kritik dan praktik.

Dirgahayu Bung Karno, Bapak Bangsa Indonesia!