Korupsi APD Covid, Aktivis Ungkap 3 Fakta yang Bisa Bikin GSL Tersangka
DIKSIMERDEKA.COM, DENPASAR, BALI – Aktivis antikorupsi Gede Angastia kembali mendesak aparat penegak hukum agar Gde Sumarjaya Linggih (GSL) ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) coronavirus disease 2019 (Covid-19) tahun 2020.
Gede Angastia juga kembali mendatangi Gedung DPR RI untuk menindaklanjuti pengaduannya ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terkait dugaan keterlibatan GSL dalam kasus yang merugikan negara hingga Rp319 miliar itu.
“Senin (26/5/25) kemarin, saya kembali mendatangi Gedung DPR RI untuk menindaklanjuti surat pengaduan yang sudah saya kirim. Suratnya ditujukan langsung kepada Ketua DPR RI dan telah masuk ke sistem tata usaha. Saya diminta datang kembali tiga hari kemudian, dan disposisinya dijanjikan keluar dalam dua minggu,” ujarnyakepada wartawan di Denpasar, Selasa ( 27/05/2025)
“Ini sebagai bentuk keseriusan. Saya tidak hanya melempar isu, tapi membawa bukti formal,” imbuh pria yang kerap disapa Angas itu.
Anggas menyebut, ada tiga alat bukti yang menurutnya cukup bagi aparat penegak hukum menetapkan GSL tersangka. Seperti sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan tiga tersangka dalam perkara ini yang kini telah menjadi terdakwa.
Ketiganya yakni, mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Budi Sylvana, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (PT EKI) Satrio Wibowo, dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PT PPM) Ahmad Taufik.
Tiga alat bukti dimaksud, pertama, fakta persidangan tiga terdakwa menunjukkan PT EKI perusahaan tempat GSL menjabat sebagai komisaris menerima dana proyek APD tanpa dokumen resmi seperti surat pesanan, izin penyalur alat kesehatan (IPAK), maupun kelayakan harga.
Kedua, GSL diduga merangkap jabatan, sebagai komisaris PT EKI sejak 20 Maret 2020, sementara saat yang sama menjabat Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, yang membidangi urusan BUMN dan perdagangan.
Ketiga, Anggas menilai adanya upaya menghapus jejak. Demer mengundurkan diri sebagai komisaris pada Juni 2020, lalu digantikan oleh anaknya, yang kini menjabat Wakil Ketua Komisi II DPRD Bali.
“Nama keduanya hilang dari akta perusahaan pada 2021. Ini mengindikasikan upaya sistematis cuci tangan,” ungkapnya.
Anggas juga menanggapi klaim GSL yang menyatakan tidak mengetahui proyek tersebut. “Kalau tidak tahu, kenapa namanya tercatat sebagai komisaris aktif saat proyek diterima? Ini bukan kebetulan, tapi desain sistematis,” tegasnya.
“Direksi perusahaannya sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Kalau komisaris bilang tidak tahu-menahu, itu tidak logis. Sekarang tinggal penegak hukum, berani atau tidak menetapkan tersangka?” tandasnya.
Sebelumnya, GSL membantah terlibat dalam kasus ini. Ia mengklaim sudah memberikan klarifikasi di berbagai kesempatan dan menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum.
GSL mengaku dirinya hanya 3 bulan menjadi salah satu komisaris di perusahaan tersebut dan perusahan dimaksud peruntukannya untuk mendirikan pabrik pipa dan sekaligus pemasarannya.
Ia juga mengaku tidak pernah mengetahui bahwa kemudian perusahaan tersebut dipergunakan untuk usaha pengadaan APD, dan hal ini sudah dirinya sampaikan secara gamblang kepada penyidik KPK.
“Ini sudah lama, dan saya sudah jawab di berbagai media. Saya sama sekali tidak terlibat. Kalau ada yang berniat jahat, saya percaya mereka akan mendapat karmanya,” katanya. (*wan)
Tinggalkan Balasan