Oleh: Dewa Putu Adi Wibawa, S.H.

Duduk Persoalan

Belakangan ini sebuah band asal Purbalingga, Jawa Tengah, menjadi sorotan publik karena aksi panggungnya menyanyikan lagu bertema kritik sosial yang secara spesifik ditujukan pada kepolisian. Pihak Sukatani sendiri telah memberikan klarifikasi bahwa kritiknya ditujukan pada oknum.

Lagu berisi kritik tersebut berjudul ‘Bayar, Bayar, Bayar’, mengisahkan tentang berurusan dengan oknum kepolisian yang seringkali membutuhkan uang. Nama “Sukatani” diambil sebagai gambaran desa yang asri dan makmur. Band ini memiliki dua personel yaitu Novi Citra Indriyati (Ovi/Twister Angel) sebagai vokalis dan Syifa Al Lutfi (AL/Alectroguy) sebagai gitaris. Pembentukan band ini sendiri dilakukan pada Oktober 2022. Gaya musik Sukatani banyak mengambil dari band anarcho-punk era 80-an dan proto-pink dengan nuansa post-punk atau new wave. Album pertama mereka bertajuk “Gelap Gempita” yang dirilis pada Juli 2023 dan berisi 8 track, termasuk salah satunya lagu kontroversial tersebut. Adapun lagu-lagu Sukatani seringkali menghadirkan kritik sosial. Seperti misalnya “Alas Wirasaba” yang mengungkap keresahan Sukatani atas hilangnya tempat bermain akibat pembangunan bandara (Tirto.id).

Berikut ini lirik lagu “Bayar, Bayar, Bayar”:

Mau bikin SIM bayar polisi
Ketilang di jalan bayar polisi
Touring motor gede bayar polisi
Angkot mau ngetem bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi

Mau bikin gigs bayar polisi
Lapor barang hilang bayar polisi
Masuk ke penjara bayar polisi
Keluar penjara bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi

Mau korupsi bayar polisi
Mau gusur rumah bayar polisi
Mau babat hutan bayar polisi
Mau jadi polisi bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi

Setiap baris lirik menggambarkan keadaan-keadaan tertentu yg seakan-akan selalu dimintai bayaran oleh oknum polisi. Mulai dari kebutuhan administratif hingga perbuatan kriminal. Pada dasarnya lirik lagu di atas adalah kritik sosial terhadap insitusi yang didirikan untuk melayani kepentingan masyarakat pada bidang keamanan, justru dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi oknum polisi. Untuk menjadi ideal berdasar kritik tersebut, seorang polisi cukup menjalankan tugas konstitusionalnya, yaitu dengan tidak memanfaatkan posisinya untuk memperoleh keuntungan finansial. Selain itu, lagu ini bernada ironis yang ditandai dengan frasa “Aduh aduh ku tak punya uang” berulang-ulang. Ironi yang menunjukkan bahwa pihak pemilik uang lah yang mendapatkan keadilan dengan mudah. Kemasannya pun satir yang mengungkap sindiran keras pada pola rekrutmen yang seringkali dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu.

Sebenarnya lagu ini mulai viral sejak Juli 2023 namun mencapai puncak kontroversinya pada Februari 2025. kalangan warganet umum dan aktivis khusunya memberi apresiasi pada keberanian pembuat dan pembawa lagu ini dalam mengungkap kritik sosial terhadap praktik korupsi dan pungli. Bahkan dipandang sebagai artikulasi suara rakyat yang resah pada ketidakadilan yang sering menimpanya. Sementara itu penolakan terjadi dari kalangan yang menganggap lirik lagu ini terlalu provokatif dan mendiskreditkan kepolisian sebagai kelembagaan. Bahkan dinilai mencemarkan nama baik institusi.

Dugaan Intimidasi

Kontroversi memuncak pada saat keluar video permintaan maaf pada 20 Februari 2025. Pihak Sukatani mengunggah sebuah video permintaan maaf melalui akun Instagram resminya, yaitu @sukatani.band. Sesuatu yang lebih mengejutkan lagi, kedua personel band, Muhammad Syifa Al Lufti dan Novi Citra Indriyati, muncul di depan media tanpa mengenakan topeng untuk pertama kalinya. Sebagaimana diketahui, topeng merupakan bagian dari identitas band ini. Tampil tanpa mengenakan topeng dapat diinterpretasikan sebagai tindakan sangat serius untuk menunjukkan kesungguhan permintaan maaf. Namun bagi pandangan lain, tindakan tersebut adalah bentuk keterpaksaan.

Personel band Sukatani dalam videonya memuat permintaan maaf pada Kapolri dan seluruh institusi Polri atas lirik yang dinilai menyudutkan. Dalam penjelasan yang diberikan keduanya, bahwa lagu tersebut dimaksudkan untuk mengkritik oknum polisi yang telah melakukan pelanggaran aturan. Bukan institusi Polri secara keseluruhan. Selain itu, personel band ini menegaskan bahwa tidak ada maksud dari pihaknya untuk mendestruksi citra kepolisian sebagai lembaga, melainkan ekspresi keprihatinan terhadap maraknya praktik korupsi dan pungutan liar. Selanjutnya Sukatani memutuskan untuk menarik lagu ‘Bayar, Bayar, Bayar’ dari seluruh platform streaming seperti Spotify, YouTube, dan Instagram. Pihaknya juga meminta para penggemar untuk menghapus lagu tersebut dari platform individual masing-masing.

Permintaan maaf dan keputusan menarik lagu tersebut memperoleh respon dari beragam pihak. Salah satu di antaranya Amnesty International Indonesia yang dalam penegasannya menyatakan bahwa lagu ‘Bayar, Bayar, Bayar’ termasuk karya seni yang merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi secara konstitusional. Hak berkesenian adalah hak asasi manusia yang memiliki nilai penting dalam pemajuan kebudayaan dan kecerdasan bangsa.

Demikian halnya dengan penarikan lagu ini dari berbagai platform streaming dinilainya sebagai bentuk pembatasan kebebasan berekspresia. Sama halnya dengan kasus yang menimpa seniman lain, yaitu pelukis Yos Soeprapto. Pihak Amnesty International membekal dugaan bahwa permintaan maaf yang dilakukan Sukatani tidak dilakukan secara sukarela dan tanpa paksaan. Ada kemungkinan tekanan dari pihak kepolisian yang memaksa band tersebut meminta maaf dan melakukan penarikan lagu. Amnesty berpendapat adanya pola yang sering terjadi di Indonesia, di mana seniman atau kreator yang mengkritisi lembaga tertentu akan berhadapan dengan tekanan, intimidasi dan bahkan ancaman hukum.

Pendapat serupa diajukan oleh Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) yang menyatakan bahwa lagu ‘Bayar, Bayar, Bayar’ merupakan bentuk ekspresi kritis terhadap praktik korupsi dan pungutan liar yang merupakan pengalaman masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. PBHI menyebutkan bahwa terjadi intimidasi dan ancaman terhadap Band Sukatani setelah dan perjalanan menuju Banyuwangi. Dengan demikian, menurut PBHI tindakan semacam itu telah melanggar Kode Etik Polri, khususnya pasal 34 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Perpol No.7Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri. PBHI menegaskan kasus semacam ini akan merusak citra polri yang seharusnya berbenah, melindungi hak-hak masyarakat.

Tanggapan Kepolisian

Uniknya, Kapolri justru menyatakan bahwa Polri menerima kritik dari pihak manapun, termasuk masyarakat, dengan lapang dada. Menurutnya kritik terhadap polri adalah bagian dari proses perbaikan institusi. Kapolri menyebutkan bahwa akan terus berbenah, termasuk dengan cara memberikan hukuman pada anggotanya yang melanggar dan penghargaan bagi anggotanya yang berprestasi. Cara ini merupakan upaya untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan responsif terhadap kritik dari masyarakat. Kapolri juga menduga adanya kemungkinan persoalan dalam komunikasi dalam kasus Band Sukatani, namun dirinya menegaskan bahwa masalah tersebut telah diluruskan. Namun Kapolri tidak memberikan pernyataan yang jelas mengenai adanya dugaan intimidasi terhadap Band Sukatani. Tidak ada pula pernyataaan mengenai langkah yang akan ditempuh bila benar ada anggotanya melakukan tindakan intimidasi (Tempo.co).

Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah melalui Kabid Humas Polda Jateng memberikan klarifikasi atas berbagai dugaan yang mengemuka di publik. Pertama, Kabid Humas Polda Jateng mengakui pernah melakukan klarifikasi terhadap personel band tersebut, hasil klarifikasi menyatakan bahwa bahwa kepolisian menghargai kegiatan berekspresi dan berpendapat melalui seni. Kedua, pihak kepolisian tidak meminta Sukatani untuk melakukan klarifikasi maupun intimidasi. Pernyataan ini sepertinya hendak menegaskan sikap institusi kepolisian yang tidak memerintahkan anggotanya melakukan intimidasi. Ketiga, petugas kepolisian tidak melarang grup musik tersebut menampilkan lagunya saat tampil di panggung. Keempat, pihaknya menegaskan bahwa Polri terbuka terhadap kritik, dalam pernyataannya disebutkan siapa pun yang mengkritisi Polri secara konstruktif dan demi perbaikan Polri akan menjadi teman Bapak Kapolri.

Salah satu pernyataan Kabid Humas Polda Jawa Tengah di atas terkait pengakuan mengenai adanya upaya melakukan klarifikasi terhadap personel Band Sukatani. Dua anggota Direktorat Reserse Siber (Ditsiber) Polda Jateng mendatangi personel band pada 20 Februari 2025. Tujuan dari kedatangan keduanya adalah untuk melakukan klarifikasi dan berupaya memahami pembuatan lagu ‘Bayar, Bayar, Bayar’. Namun, kedatangan tersebut bukan untuk mengintimidasi atau mengintervensi, melainkan upaya untuk memahami konteks lagu yang viral. Tidak ada pula paksaan pada band untuk menarik lagu dan meminta maaf. Informasinya Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri memeriksa anggota Ditsiber Polda Jateng guna memastikan mereka telah menjalankan profesionalisme dalam penanganan kasus Band Sukatani. Propam bertujuan untuk mengklarifikasi permasalahan yang terjadi serta menjaga transparansi dan akuntabilitas dan tubuh Polri.

Bagaimana Nasib Sukatani secara Hukum?

Isu utama pihak yang mendukung Band Sukatani adalah kebebasan berekspresi. Secara konstitusional, Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Frasa “setiap orang” mencakup pula para musisi yang hendak mengeluarkan pendapatnya melalui musik. Secara eksplisit konstitusi menjamin hak setiap orang, termasuk musisi, untuk berpendapat. Namun, kebebasan yang tercantum dalam ketentuan pasal tersebut, termasuk pasal-pasal lain dalam konstitusi yang menjamin hak dan kebebasan, dibatasi oleh Pasal 28J Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berkewajiban menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Rumusan ketentuan Pasal 28J Ayat (1) UUD 1945 sesuai dengan teori harm principle dari John Stuart Mill yang terkenal dengan pernyataannya bahwa kebebasan individu hanya boleh dibatasi jika tindakan tersebut dapat merugikan orang lain. Demikian pula pandangan dari Immanuel Kant dalam pendapatnya tentang hak asasi manusia, bahwa kebebasan seseorang tidak boleh melanggar kebebasan orang lain. Ketentuan Pasal di atas memiliki substansi sebangun dengan teori yang telah disebutkan. Pertama, teori yang dikemukakan Mill terkandung dalam penekanan Pasal 28J Ayat (1) UUD 1945 terhadap kewajiban individu untuk memberi penghormatan terhadap hak orang lain. Dengan demikian kebebasan individual bersifat relatif terhadap hak orang lain. Penerapan perspektif teori ini pada hukum terartikulasi dalam pemahaman bahwa setiap orang boleh mengemukakan pendapatnya, namun dilarang berpendapat dengan membawa misalnya ujaran kebencian atau fitnah yang dapat merenggut hak pihak lain dan merugikannya. Negara diperkenankan untuk membatasi kebebasan tersebut demi melindungi hak orang lain.

Kedua, Immanuel Kant, dalam karyanya Groundwork of the Metaphysics of Morals (1785) dan The Metaphysics of Morals (1797), memberi penekanan pada konsep kebebasan berbasis prinsip moral dan kewajiban universal. Dalam kerangka ini, Kant mengembangkan prinsip imperatif kategoris yang terkenal dengan pernyataan: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga kamu memperlakukan kemanusiaan, baik dalam dirimu sendiri maupun dalam diri orang lain, selalu sebagai tujuan dan bukan sekadar sebagai sarana.”. Karena itu, dalam pemahaman Kant, setiap individu memiliki martabat dan kebebasan yang harus dihormati. Membatasi kebebasan orang lain berarti memperlakukan mereka hanya sebatas sarana untuk mencapai tujuan pribadi, bukan tujuan hakikat dari prinsip tersebut. Dengan demikian, baik Mill maupun Kant memiliki kesamaan dalam pandangan bahwa kebebasan seseorang terbatasi oleh kebebasan orang lain. Hal ini sejalan dengan rumusan Pasal 28J Ayat (1) UUD 1945.

Jaminan kebebasan dalam UUD 1945 juga dibatasi dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Rumusan pasal ini berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” Ketentuan pasal ini sesuai dengan pandangan Locke yang menyatakan bahwa negara ada untuk melindungi hak-hak individu, tapi bukan kebebasan absolut. Dengan kata lain, negara berkewajiban menjamin kebebasan individual namun mencegah terjadinya kebebasan absolut. Hal ini sejalan dengan substansi yang terkandung dalam Pasal 28J Ayat (1) UUD 1945, bahwa kebebasan seseorang terbatasi oleh kebebasan orang lain. Pada Ayat (2) pasal ini ditegaskan secara eksplisit bahwa setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya wajib tunduk pada undang-undang.

Sebelum lebih jauh membahas kewajiban setiap orang yang menjalankan hak dan kebebasannya dengan tunduk pada undang-undang, perlu diperjelas terlebih dahulu perbedaan antara hak dan kebebasan. Hak, menurut Locke, dapat dimengerti sebagai klaim atas sesuatu yang diakui dan dijamin secara hukum, moral, dan norma sosial. Hak memiliki karakteristik yang pasif, yaitu seseorang berhak memperoleh sesuatu tanpa harus melakukan tindakan tertentu. Sementara kebebasan, menurut Rousseau, merupakan kemampuan seseorang untuk bertindak atau sebaliknya sesuai kehendak sendiri tanpa melanggar hukum atau hak orang lain. Kebebasan memiliki karakteristik sebaliknya dibanding hak, yaitu bersifat aktif. Hal ini berarti bahwa seseorang dapat memilih akan bertindak atau tidak.

Setiap orang dalam menunaikan hak dan menjalankan kebebasannya wajib tunduk pada undang-undang. Menurut Kant, kewajiban berarti sesuatu yang harus dilakukan oleh seseorang karena adanya tuntutan hukum, moral atau norma sosial. Berbeda dari hak dan kebebasan, kewajiban berkarakter imperatif, yaitu harus dilaksanakan dengan tujuan menjaga hak orang lain dan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat. Demikian halnya dengan konteks kewajiban dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 yang berada dalam kerangka “maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Rumusan ini mengantisipasi agar pemerintah dan DPR yang berwenang membentuk undang-undang tidak menginterpretasikan pembatasan kebebasan secara sewenang-wenang. Tanpa rumusan tersebut, penguasa dapat dengan mudah membuat undang-undang yang membatalkan hak dan kebebasan seseorang yang telah dijamin konstitusi.

Ada banyak undang-undang dan berbagai peraturan serta kebijakan turunan yang membatasi kebebasan berekspresi dengan tujuan mencegah terjadinya pencemaran nama baik dan berbagai pelanggaran hukum sebagaimana tercantum dalam kalimat terakhir Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 di atas. Sebenarnya bila dilakukan analisis secara spesifik, terdapat beberapa pasal dalam undang-undang tertentu yang bersifat problematis karena dapat diinterpretasikan secara elastis untuk membungkam kritik. Pembahasan terkait ini akan dilakukan pada kesempatan lain. Dalam kaitannya dengan kasus Sukatani, keunikan ditemukan dalam Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang secara tegas melarang siapa saja melakukan penghinaan atas penguasa atau badan umum. Penguasa yang dimaksud dalam hal ini adalah pejabat publik yang memegang kewenangan tertentu. Sementara badan umum mengacu pada lembaga negara atau badan yang diberi kewenangan untuk melayani kepentingan umum.

Ketentuan Pasal 207 KUHP diubah setelah melalui uji materi oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006. Pasal ini diubah dari delik biasa menjadi deli aduan. Dengan kata lain, penuntutan hanya dapat dilakukan jika ada pengaduan langsung dari pejabat yang merasa dihina, bukan secara otomatis oleh penegak hukum. Dalam artikel yang ditulis Ahmad Sofian, Pasal 207 KUHP mengandung dua unsur. Pertama, unsur objektif yang terdiri dari perbuatan menghina dilakukan secara sengaja, dilakukan di muka umum, dan dapat dilakukan melalui lisan atau tulisan. Kedua, unsur subjektif, yang terdiri dari pelaku memiliki kesengajaan untuk menghina dan objek penghinaan adalah pejabat atau penguasa umum secara pribadi, bukan institusi. Sebelum putusan MK, objek penghinaan mencakup institusi atau badan kekuasaan. Sementara setelah putusan MK, objek penghinaan hanya pejabat atau penguasa secara personal, bukan institusi.

Peralihan status delik dari delik biasa menjadi delik aduan telah berimplikasi pada semakin terbatasnya ruang penyalahgunaan pasal ini. Hal ini dikarenakan pelaporan bergantung pada sikap pejabat. Namun ketentuan semacam ini, termasuk dalam KUHP baru yang membatasi bahwa hanya pimpinan lembaga yang dapat membuat pengaduan, tetap akan rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik yang ditujukan terhadapnya. Pasal 207 KUHP dan pasal-pasal sejenis dapat dianggap bertentangan dengan konstitusi bila dalam pelaksanaannya digunakan untuk melarang kebebasan berpendapat dari rakyat, terutama kritik yang tidak mengandung unsur-unsur yang disebut dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945.

Lantas bagaimana dengan lirik lagu Band Sukatani? Dalam pendapat penulis, lirik lagu tersebut secara eksplisit mengkritisi perilaku oknum kepolisian, sebagaimana klarifikasi yang telah disampaikan. Rangkaian pertanyaan perlu diajukan guna memastikan ekspresi kritis Sukatani akan mendapat perlindungan konstitusi dan hukum atau tidak. Pertama, apakah kritik yang diajukan tersebut mengganggu hak dan kebebasan orang lain, melanggar moralitas, nilai-nilai agama, mengganggu keamanan, dan merusak ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis? Perlu dicermati bahwa moralitas, keamanan dan ketertiban umum yang seringkali dijadikan dasar merespon kritik harus dilihat dalam kerangka masyarakat demokratis. Persepsi tentang moralitas, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis tidak sama dengan masyarakat feodal atau kolonial. Kedua, apakah lirik lagu Band Sukatani mengandung fitnah dan penghinaan terhadap pejabat kepolisian? Bila lirik itu mengandung fitnah, maka kebebasan Band Sukatani tidak dijamin lagi perlindungannya oleh konstitusi. Demikian pula sebaliknya. Selanjutnya, bila lirik tersebut berisi penghinaan terhadap pejabat kepolisian, maka tindakan hukum berdasarkan hukum positif bergantung pada sikap dari pejabat yang bersangkutan.

Kritik sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dalam konstruksi hukum dan konstitusi di Indonesia tidak berada dalam kemutlakan. Terdapat berbagai batasan yang bertujuan agar hak dan kebebasan tersebut tidak melanggar hak dan kebebasan pihak lain. Dalam konteks konstitusi Indonesia, pembatasan terhadap hak dan kebebasan dalam rangka mencegah terlanggarnya hak dan kebebasan pihak lain dilakukan melalui undang-undang yang dibuat oleh pemerintah dan DPR. Dengan demikian, kritik dan kebebasan berekspresi di Indonesia dilakukan dengan berbagai batasan yang secara substansial tidak boleh melanggar hak dan kebebasan pihak lain. Dengan fakta demikian, setiap pihak hendaknya cermat dan berhati-hati dalam mengemukakan pendapat dan mengekspresikan kritik. Kriteria umum pendapat dan kritik yang tepat telah ditetapkan oleh konstitusi yang selanjutnya dispesifikasi oleh hukum. Selain itu, kontrol yang ketat perlu diarahkan pada setiap undang-undang yang sedang dibentuk maupun yang telah disahkan. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan tidak bertentangan dengan hak dan kebebasan yang telah dijamin konstitusi dengan segala keterbatasannya.