”Suntik Mati” Dalam Hukum Indonesia
Penulis: Dewa Putu Adi Wibawa, S.H.
Platform media sosial Instagram dan Facebook pekan lalu hingga beberapa hari ini diramaikan dengan berita 11 tahun lalu yang bersumber dari permintaan pria bernama Ignatius Ryan Tumiwa untuk disuntik mati. Menurut dugaan penulis, isu ini kembali ramai diperbincangkan karena kesehatan mental sendiri menjadi wacana yang aktif didiskusikan di ruang publik.
Terutama dari kalangan Generasi Z perkotaan dan Generasi Alfa. Permohonan suntik mati oleh Ryan sendiri terkait erat dengan permasalahan yang akrab dengan isu kesehatan mental. Adapun permohonan pria lulusan Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Universitas Indonesia diajukan pada pertengahan 2014 dengan beberapa faktor yang menjadi latar belakangnya.
Pertama, Ryan mengalami kesepian setelah kehilangan kedua orang tuanya. Hubungan dengan saudara-saudaranya pun tidak dekat. Perasaan kesepian ini memperburuk keadaan mentalnya. Kedua, ia kesulitan ekonomi yang menghimpitnya karena tidak memiliki pekerjaan tetap sejak 1998. Hidupnya saat itu bergantung pada sisa tabungan orang tua dan pekerjaan paruh waktu.
Keterbatasan finansial membuatnya tidak dapat mengakses layanan kesehatan mental. Ketiga, Ryan berusaha mencari bantuan dengan menghubungi Komnas HAM untuk menanyakan tentang tunjangan bagi pengangguran. Dasarnya adalah Pasal 34 UUD 1945 bahwa negara memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Namun Komnas HAM menyatakan bahwa lembaganya hanya fokus pada pelanggaran hak asasi manusia. Keempat, Dalam permohonannya, Ryan berharap agar MK dapat mencabut pasal tersebut sehingga prosedur suntik mati bagi individu yang mengalami penderitaan berat dapat dibenarkan.
Ada beberapa pihak memberikan tanggapan terkait dengan permintaan suntik mati Ryan tersebut. Pertama, kakak dari Ryan enggan memberikan komentar secara rinci mengenai permohonan adiknya dan menduga Ryan mengalami depresi. Kedua, Staf Program Pascasarjana Ilmu Administrasi UI mengenal Ryan sebagai alumni dan mengetahui kondisinya. Ketiga, saat MK hendak menyidangkan kasus ini, Ryan justru mencabut permohonannya dengan alasan MK kemungkinan besar akan menolaknya.
Selain Ryan, Nazaruddin Razali pada tahun 2022 dari Aceh juga mengajukan permohonan euthanasia pada tahun 2022. Ia mengajukan permohonan euthanasia karena putus asa akibat penyakit yang dideritanya, diperparah oleh kesulitan ekonomi. Penyakitnya tak kunjung sembuh, dan ia merasa terbebani secara psikologis karena menganggap dirinya menjadi beban bagi keluarganya. Lalu ia mengajukan permohonan euthanasia namun ditolak oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh dengan dalih bahwa hukum di Indonesia tidak membenarkan euthanasia.
Euthanasia yang selama ini dikenal secara awam sebagai “suntik mati”, adalah tindakan mengakhiri hidup seseorang dengan sengaja untuk mengurangi penderitaannya. Tindakan ini umumnya dilakukan pada pasien dengan penyakit terminal atau kondisi yang menyebabkan penderitaan hebat. Meski memiliki tujuan yang baik, gagasan dan praktik ini hingga sekarang masih menjadi perdebatan etis dan hukum di berbagai negara, termasuk Indonesia. Ada lima jenis euthanasia. Pertama, euthanasia aktif, yaitu tindakan langsung untuk mengakhiri hidup seseorang, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan.
Kedua, euthanasia pasif, yaitu menghentikan atau tidak memulai pengobatan yang diperlukan untuk mempertahankan hidup, sehingga kematian berlangsung secara alami. Ketiga, euthanasia non-sukarela, yaitu euthanasia yang dilakukan tanpa persetujuan pasien karena pasien tidak mampu memberikan persetujuan. Keempat, euthanasia sukarela, yaitu euthanasia yang dilakukan permintaan dan persetujuan sadar dari pasien. Kelima, euthanasia involunter, yaitu euthanasia yang dilakukan terhadap pasien yang menolak kematiannya. Jenis ini dapat dianggap sebagai pembunuhan.
Pakar hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar menyatakan bahwa euthanasia tidak diperbolehkan di Indonesia. Dalam hal ini negara perlu hadir dalam memberikan solusi humanis bagi individu yang mengalami penderitaan berat, misalnya melalui perbaikan layanan kesehatan dan jaminan sosial. Di samping negara-negara yang menolak, beberapa negara telah melegalisasi praktik euthanasia. Belanda telah melegalisasi euthanasia sejak 2002 dengan persyaratan yang ketat. Termasuk di dalamnya persetujuan pasien yang sadar dan menderita penyakit tak tersembuhkan dengan penderitaan tak tertahankan. Belgia juga mengikuti jejak Belanda pada tahun yang sama. Negara-negara lain yang telah melegalisasi euthanasia antara lain Luksemburg, Kanada, Kolombia, dan beberapa negara bagian di Australia. Dengan demikian, mayoritas negara di seluruh dunia masih menentang praktik euthanasia.
Pasal 344 KUHP menganggap euthanasia sebagai tindakan yang ilegal. Setiap upaya membantu atau mendorong seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri dapat diancam pidana penjara. Konstitusi secara eksplisit menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup dan mempertahankan hidup.
Namun, rumusan ketentuan dalam konstitusi hanya menegaskan bahwa hidup adalah hak, bukan kewajiban. Bila hidup bukan kewajiban, apakah tidak terbuka peluang secara konstitusional hak untuk mengakhiri hidup (euthanasia)? Pertanyaan ini masih menjadi masalah terbuka dalam studi akademis maupun perdebatan hukum. Secara teoretis, gagasan tentang hak konstitusi-konstitusi modern dipengaruhi teori hak John Locke. Dalam pendapatnya, manusia memiliki hak atas tubuhnya sendiri, termasuk hak untuk menentukan waktu dan cara dalam mengakhiri hidup. Dalam kerangka hak asasi manusia, euthanasia dapat digolongkan sebagai wujud nyata kebebasan individu dalam menentukan nasib sendiri.
Tinjauan teoretis berikutnya adalah etika utilitarianisme dari Bentham dan Mill yang dapat menjadi teori pendukung argumentasi pro euthanasia. Utilitarianisme menegaskan bahwa setiap tindakan harus didasarkan pada kemanfaatan dan kebahagiaan sebagai hasil nyata. Jika euthanasia dapat mengurangi penderitaan individu yang mengalami penyakit terminal dan memberikan ketenangan bagi keluarga yang tidak lagi tahan melihat penderitaan tersebut, maka tindakan ini dapat dianggap etis. Kematian melalui prosedur euthanasia dianggap sebagai kematian bermartabat.
Namun dalam perspektif deontologis Kant, praktik dan bahkan pemikiran tentang euthanasia ini ditolak sepenuhnya. Pandangan ini menegaskan bahwa setiap tindakan harus berlandaskan kewajiban moral dan aturan universal. Menurut Kant, manusia memiliki martabat yang tidak dapat dikorbankan, bahkan djika dalam penderitaan tak tertahankan. Dalam perspektif deontologi, membunuh dengan alasan apa pun bertentangan dengan prinsip moral universal. Selain prinsip moral universal Kant tersebut, prinsip sanctity of life (kesucian hidup) yang dianut oleh banyak ajaran agama juga menentang euthanasia karena dianggap menghilangkan kehidupan yang berasal dari Tuhan.
Kelompok berikutnya berargumentasi bahwa bila euthanasia diizinkan, akan terjadi kemunduran moral dalam masyarakat. Euthanasia dikhawatirkan dijadikan dalih bagi keluarga atau masyarakat untuk menghilangkan nyawa seseorang. Penderitaan seseorang dapat dijadikan alasan yang dibuat-buat, padahal motif sebenarnya adalah karena mereka dianggap beban dalam lingkungannya.
Terlepas dari perdebatan teoretis di atas, penerapan euthanasia memiliki peluang yang kecil untuk diterapkan di Indonesia. Hambatan pertama adalah hukum Indonesia yang melarang praktik menghilangkan nyawa seseorang. Tantangan berikutnya berasal dari agama.
Mayoritas penduduk Indonesia menganut agama dengan segala ajarannya yang memandang hidup itu suci dan berasal dari Tuhan. Euthanasia dalam sudut pandang ini dapat dipahami sebagai legalisasi bunuh diri oleh negara. Sementara bunuh diri adalah dosa yang besar dalam ajaran agama. Selanjutnya masyarakat Indonesia masih berpegang pada nilai solidaritas sosial, seperti gotong royong dan prinsip kekeluargaan. Anggapan bahwa seseorang dapat menjadi beban keluarga atau masyarakat masih dianggap asing dalam budaya Indonesia. Karena itu, permintaan euthanasia dengan alasan takut membebani keluarga sulit untuk diterima secara sosiologis. Namun, bagaimana dengan mereka yang benar-benar membutuhkan tindakan ini? Dilema ini masih perlu didiskusikan lebih lanjut sebagai isu hukum dan etika di Indonesia.
Tinggalkan Balasan