DIKSIMERDEKA.COM, DENPASAR, BALI -Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kura-Kura Bali yang berlokasi di Pulau Serangan, Kota Denpasar, tengah menjadi pusat polemik berbagai pihak. Proyek yang disebut-sebut ambisius ini berada di bawah pengelolaan PT Bali Turtle Islan Development (BTID) yang bervisi mengembangkan kawasan pariwisata berkelas dunia. Cakupan pengelolaan terdiri dari resor mewah, pusat konferensi internasional, hingga fasilitas yang diklaim berbasis pada prinsip ekonomi hijau.

Namun, bersamaan dengan narasi pemajuan ekonomi dan pariwisata yang diamplifikasi pihak PT BTID, polemik justru muncul dari wilayah KEK Kura-Kura Bali yang dikelolanya. Sejumlah elemen masyarakat, termasuk nelayan lokal dan tokoh adat mengajukan keberatan terhadap kebijakan yang dianggap membatasi akses publik, terutama dalam penggunaan kawasan laut dan perubahan identitas wilayah tersebut.

Isu-isu yang bermunculan meliputi pembatasan akses laut bagi nelayan yang berakibat pemasangan pelampung pembatas, adanya dugaan pemasangan pagar di wilayah perairan sehingga menimbulkan hambatan pada jalur penangkapan ikan. Selain itu, protes juga mengemuka pada perubahan nama jalan dan pantai di Pulau Serangan.

Protes terkait isu pembatasan dan penggantian nama wilayah tersebut memicu terjadinya peningkatan ketegangan. Elemen-elemen masyarakat yang mengajukan keberatan itu menilai langkah yang ditempuh PT BTID kontradiktif dengan hak-hak yang intrinsik dalam tubuh masyarakat adat serta kelestarian tradisi kemaritiman yang telah berlangsung turun temurun di wilayah tersebut sejak lama.

Pemasangan pelampung pembatas laut yang dilakukan PT BTID dinilai menghambat jalur tradisional para nelayan untuk melaut. Nelayan Serangan diketahui telah terbiasa mengakses perairan di sekitar pulau tanpa batasan signifikan. Karena itu pemasangan pelampung pembatas di kawasan perairan di sekitar proyek KEK Kura-Kura Bali jelas-jelas diangaap menciptakan pembatasan bagi ruang gerak para nelayan. Akibatnya para nelayan harus menempuh jalur alternatif yang membutuhkan waktu lebih lama sehingga berdampak pada pembengkakan biaya operasional dan penurunan hasil tangkapan karena terbatasinya akses pada titik-titik penangkapan potensial.

Keberatan tersebut diperparah dengan sosialiasi yang minimal dari pihak pengelola KEK sebelum dilakukannya pembatasan area sekitar proyek. Berdasarkan pengakuan dari nelayan dan masyarakat sekitar, tidak ada pelibatan dalam bentuk diskusi atau sekedar sosialisasi terkait alasan dan dampak kebijakan pengelola bagi kehidupan para nelayan. Situasi tersebut menimbulkan ketidakpuasan yang selanjutnya berkembang menjadi protes terbuka terhadap PT BTID.

Sementara itu pihak pengelola KEK Kura-Kura Bali tetap bersikukuh bahwa langkah tersebut merupakan bagian dari usaha penataan kawasan dan bentuk dukungan bagi agenda pembangunan berkelanjutan. Pihaknya membatah pemasangan pelampung pembatas tersebut dimaksudkan sebagai larangan bagi nelayan beraktivitas.

Pengelola menyatakan bahwa pemasangan itu dilakukan guna menjaga keamanan kawasan, terutama dalam kerangka pengelolaan wilayah perairan di sekitar KEK. Pembatasan itu bagi pengelola dibutuhkan untuk memastikan tetap tertatanya wilayah laut sebagai bagian dari proyek dan menghindari gangguan aktivitas yang dapat menghambat pengembangan proyek tersebut.

Penyataan tersebut sudah barang tentu menuai resistensi dari masyarakat nelayan. Tuntutan pun diajukan agar ada solusi yang adil dan terbuka. Permintaan masyarakat sebenarnya sederhana, yaitu dibukanya jalur khusus bagi perahu nelayan agar pihaknya tetap dapat menjalankan aktivitas ekonominya tanpa mengalami hambatan.

Baca juga :  Janji Belum Terpenuhi PT BTID, Taksu Bali Siap Lakukan Aksi Demontrasi

Namun, seperti yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, persoalan yang ditimbulkan oleh PT BTID selaku pengelola KEK Kura-Kura Bali tidak hanya berbenturan dengan kepentingan umum masyarakat nelayan, namun juga hak-hak masyarakat adat. Dalam hal kedua terkait dengan penggantian nama wilayah di sekitar KEK.

PT BTID dalam tanggapannya terhadap tuduhan tersebut pihaknya menegaskan bahwa perusahaan tidak pernah mengganti nama Pantai Serangan. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa “Surf Surf by The Waves” yang muncul di peta digital merupakan titik koordinat yang digunakan untuk acara World Water Forum pada Mei 2024. Dengan demikian dapat dianggap bahwa perubahan nama tersebut tidak dilandasi oleh perubahan secara resmi.

Namun klarifikasi tersebut tidak cukup untuk menjelaskan pada publik mengenai penggunaan nama tersebut di dalam peta digital. Hal ini disebabkan adanya fakta lain mengenai pemasangan plang nama “Jalan Kura-Kura Bali” pada pintu masuk wilayah Pulau Serangan. Setelah mendapatkan protes keras dari dari anggota DPR RI serta DPD RI, PT BTID pada akhirnya melakukan pencabutan plang tersebut pada 1 Februari 2025.

Pihak PT BTID dalam klaimnya menyatakan bahwa perubahan nama jalan Pulau Serangan menjadi Jalan Kura-Kura Bali di pintu masuk Pulau Serangan sudah melalui permohonan prosedur perijinan dari tingkat lurah hingga Pemerintah Provinsi Bali sejak pelaksanaan KTT G20 dilakukan tiga tahun lalu. Menariknya, mantan Lurah Serangan membantah klaim tersebut.

Pihaknya tidak pernah diajak berkoordinasi atau memperoleh pengajuan resmi dari PT BTID terkait pergantian nama jalan. Bahkan ia mengaku terkejut dengan adanya pergantian nama yang terjadi tanpa sepengetahuannya sebagai lurah kala itu. Dengan demikian, perihal isu ini memerlukan penyelidikan mendalam guna menjernihkan berbagai dugaan dan penilaian yang berkembang.

Sebenarnya konflik antara masyarakat lokal melalui warga Desa Adat Serangan telah berlangsun jauh sebelum tahun 2025. Pada akhir tahun 2023 terjadi forum yang sedianya hendak memfasilitasi pertemuan antara pihak PT BTID dengan perwakilan Desa Adat Serangan. Namun, dari informasi yang beredar forum yang dimediasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali tersebut hanya dihadiri oleh perwakilan warga Desa Adat Serangan saja.

Persoalan utama yang menjadi dasar keresehan warga adalah pembatasan yang dilakukan oleh pihak PT BTID yang telah terjadi sejak saat itu. Dengan demikian persoalan eksklusivitas kawasan dan keterbatasan ruang gerak masyarakat lokal menjadi titik utama masalah dalam kasus ini. Hal ini mengindikasikan bahwa konflik antara pihak PT BTID dan masyarakat adat atau lokal telah berlangsung sebelum isu ini mencuat awal tahun 2025.

Bila dicermati, ada dua isu utama yang mengemuka dalam polemik di atas. Pertama, berkenaan dengan hak nelayan terkait dengan pemasangan pelampung pembatas laut. PT BTID dalam keterangannya menjelaskan pemasangan pelampung pembatas bertujuan untuk mengamankan kawasan KEK.

Baca juga :  JMW Minta PT BTID Penuhi Janjinya Sediakan Lahan Parkir Pura Sakenan

Namun, dalam tinjauan hukum, segala bentuk pembatasan akses laut diharuskan memiliki dasar hukum yang jelas. Ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 22 dan 45 UU No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang menyatakan mengenai jaminan bagi hak nelayan guna memperoleh akses melintas. Bahkan Pasal 86 Ayat 6 huruf b dengan tegas menyatakan bahwa pelanggaran atas hak nelayan dalam mengakses wilayah laut yang berada dalam izin lokasi pelaku usaha tertentu dapat dikenai sanksi administratif.

Kekuasaan atau kewenangan perizinan dalam Pasal 15 UU Kelautan dinyatakan berada di tangan negara sepenuhnya. Sebab negara memiliki kewenangan penuh atas seluruh wilayah laut, termasuk memastikan bahwa perairan tersebut digunakan secara adil untuk kepentingan publik. Spesifikasi pengaturan terkait perizinan tersebut diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2020 tentang Izin Lokasi, Izin Pengelolaan, dan Izin Lokasi di Laut yang mengklasifikasikan perizinan yang tiga jenis sebagai berikut: 1) izin lokasi yang mengacu pada pemanfaatan ruang di perairan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil secara menetap; 2) izin lokasi di laut yang mengacu pada pemanfaatan ruang di wilayah yurisdiksi Indonesia yang mana zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen termasuk di dalamnya. 3) izin pengelolaan yang mengacu pada pemanfaatan sumber daya perairan termasuk wisata bahari, produksi garam, dan bioteknologi laut.

Menteri Kelautan dan Perikanan memiliki kewenangan utama dalam pemberian perizinan tersebut dalam skala nasional hinggatan minyak dan gas bumi. Sementara gubernur berwenang dalam pemberian izin pada qilayah pesisir dalam satu provinsi. Sementara perizinan yang berkaitan dengan pertanahanan, lingkungan dan transportasi laut memberilukan persetujuan tambahan.

Pasal 8 Ayat (1) Permen KP No.51 Tahun 2020 menyebutkan bahwa pemberian izin bagi para pelaku usaha dalam mengelola wilayah kelautan terbatasi oleh zona larangan yang terdiri dari zona inti kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, pantai umum, dan wilayah kelola masyarakat adat. Pelaku usaha yang memegang izin lokasi tetap harus memberikan akses seluas mungkin bagi nelayan sebagaimana ketentuan Pasal 22 Permen tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Permen KP No.51 Tahun 2020 memberi jaminan perlindungan masyarakat lokal dan masyarakat adat.

Misalnya dalam Pasal 9 Permen tersebut ditentukan bahwa masyarakat hukum adat tidak memiliki kewajiban untuk memiliki izin lokasi dalam memanfaatkan ruang perairan pesisir. Bahkan masyarakat hukum adat dapat mengusulkan wilayahnya sebagai wilayah kelola dalam rencana zonasi. Selain itu, sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, wilayah kelola masyarakat adat bahkan tidak dapat diberikan sebagai izin lokasi pada pelaku usaha karena memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum. Selanjutnya, dalam kaitannya dengan hak-hak nelayan, hukum sebenarnya memberi jaminan pada nelayan untuk dapat mempertahankan aksesnya ke lokasi penangkapan ikan. Pelaku usaha juga diwajibkan untuk menghormati kepentingan masyarakat lokal. Dengan demikian, meskipun PT BTID memegang izin yang lengkap sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tetap harus memberi penghormatan dan jaminan akses pada masyarakat lokal, adat, dan nelayan.

Baca juga :  Ditinggal Mudik, Rumah Dibobol Maling

Kedua, isu perubahan nama pantai dan jalan. PT BTID setelah meluasnya reaksi publik dan keterlibatan berbagai unsur pemerintahan, termasuk dalam hal ini anggota DPR RI dan unsur-unsur masyarakat dan publik secara umum, pada akhirnya memutuskan untuk menurunkan plang nama jalan dan mengembalikan nama dari kura-kura Bali menjadi Serangan. Namun, permasalahan ini belum sepenuhnya meredam potensi konflik antara para pihak. Nama Serangan sebagai sebuah situs hidup masyarakat adat setempat bukan semata-mata nama, namun sebagai sebagai subjek yang terpaut dengan emosi kesejarahan mereka.
Secara hukum, nama sebuah tempat mengacu pada istilah yang disebut dengan tama rupa bumi. Adapun Pasal 1 angka 1 PP No.2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupa Bumi mengartikan rupa bumi sebagai permukaan bumi beserta objek yang dapat dikenali identitasnya. Dengan demikian rupa bumi sebagai sebuah objek harus diidentifikasi dalam nama tertentu atau nama rupa bumi. Rupa bumi sendiri terdiri atas unsur alami dan unsur artifisial atau buatan. Pasal 2 Ayat (2) PP No.2 Tahun 2021 menguraikan unsur alami dari rupa bumi meliputi pulau, kepulauan, gunung, pegunungan, bukit, dataran tinggi, gu&, lembah, tanjung, semenanjung, danau, sungai, muara, samudera, laut, selat, teluk, unsur bawah laut, dan Unsur Alami lainnya. Sementara Ayat (3) pasal tersebut menyatakan bahwa unsur buatan terdiri atas wilayah administrasi pemerintahan, objek yang dibangun, kawasan khusus, dan tempat berpenduduk. Selain unsur buatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3), tempat, lokasi, atau entitas yang memiliki nilai khusus atau penting bagi masyarakat suatu wilayah dapat dikategorikan sebagai unsur buatan.

Hukum memberi jaminan perlindungan hak-hak masyarakat lokal dan adat dalam kaitannya dengan nama rupabumi. Pasal 3 huru b dan e PP No.2 Tahun 2021 menyatakan bahwa pemberian nama rupabumi menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila Unsur rupabumi memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan. Selanjutnya penetapan dan pemberian nama rupa bumi harus menghormati eksistensi suku, agama, ras, dan golongan. Pulau Serangan dari sudut pandang Masyarakat Desa Adat Serangan yang beragama Hindu Bali memiliki signifikansi relijius karena adanya Pura Sakenan yang dalam sejarahnya didirikan oleh Mpu Kuturan ribuan tahun lalu. Pura tersebut merupakan salah satu Kahyangan Jagat yang memiliki nilai tinggi dalam khazanah keagamaan masyarakat Hindu Bali.

Selain itu nama Serangan sendiri terpaut dengan dinamika sejarah yang hubungan interkultural antara masyarakat Bali dengan masyarakat Bugis-Makassar yang memeluk Islam. Karena itu, nama Serangan memiliki nilai kesejarahan yang tinggi bagi masyarakat Hindu Bali maupun masyarakat yang berasal dari golongan lainnya. Dalam hal ini, sudah seharusnya pihak pelaku usaha dan pihak lainnya harus memberi penghormatan pada masyarakat adat dan lokal sebagai perintah dari peraturan perundang-undangan. Perubahan nama rupabumi dalam dalih apa pun di kawasan Pulau Serangan sudah seharusnya melibatkan masyarakat sepenuhnya.

Penulis: Dewa Putu Adi Wibawa., SH