Apakah Laut Dapat Disertifikatkan?
DIKSIMERDEKA.COM – Keberadaan pagar laut yang mebentang sepanjang 30,16 KM di perairan Tangerang memicu terjadinya polemik pada awal tahun 2025. Kontroversi mengemuka setelah keberadaan pagar terucuk yang membentang sedemikian luasnya tersebut dianggap misterius dan pada saat mulai mencuat belum dapat dipastikan legalitasnya. Informasi mengenai pagar laut tersebut mulai meluas setelah para nelayan setempat mengeluh karena aktivitasnya terganggu. Para nelayan tersebut harus memutari pagar hingga menghabiskan waktu selama 1,5 jam untuk dapat menjangkau lokasi penangkapan ikan. Pagar laut tersebut terbuat dari bambu dengan ketinggian rata-rata 6 meter. Bagian atas pagar dipasang anyaman bambu, paranet, dan elemen pemberat berupa karung berisi pasir.
Isu semakin mencuat karena wilayah yang terpagari terucuk tersebut seharusnya dapat menjadi ruang publik namun terkesan diklaim sebagai milik pribadi. Perusahaan Agung Sedayu Group (ASG) yang diketahui memiliki sejumlah proyek di kawasan Pantai Indah Kapuk 2 disebut-disebut sebagai pihak yang mengatur proses pemagaran tersebut. Belakangan Agung Sedayu Group pada akhirnya mengakui bahwa pagar laut tersebut berstatus hak guna bangunan (HGB) milik anak usahanya, yaitu PT Cahaya Intan Sentosa dan PT Intan Agung Makmur.
Dalam keterangan yang disampaikan kuasa hukum Agung Sedayu Group, kepemilikan HGB atas nama anak usaha tersebut tidak mencakup keseluruhan area pagar laut sepanjang 30,16 KM. Lebih lanjut dinyatakan bahwa sertifikat HGB dikeluarkan setelah melalui prosedur yang benar, yaitu membeli dari rakyat yang diklaim memegang sertifikat hak milik atas wilayah itu. Lahan tersebut dulunya merupakan lawan pesawahan atau tanah reklamasi yang tergenang akibat abrasi air laut. Hal ini kemudian mengakibatkan terjadi peralihan fungsi lahan menjadi perairan, namun legalitasnya tetap dianggap sah karena dokumen HGB telah diterbitkan.
Publik pun bereaksi dan mempertanyakan keabsahan sertifikat yang diterbitkan untuk wilayah laut yang seharusnya menjadi bagian dari ruang publik. Pemerintah daerah Tangerang didesak untuk menjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan legalitas HGB sebagaimana diklaim Agung Sedayu Group. Ada beberapa pokok permasalahan yang terkandung dalam polemik ini. Pertama, laut yang memperoleh HGB dianggap menghilangkan hak publik untuk mengakses pantai. Kedua, adanya dugaan manipulasi data tata ruang dalam proses penerbitan sertifikat. Ketiga, pemerintah pusat diminta untuk melakukan peninjauan ulang berbagai aturan terkait HGB pada wilayah pesisir.
Efek domino temuan pagar laut di Tangerang meluas dengan terungkapnya kasus serupa di berbagai wilayah. Salah satu di antaranya adalah keberadaan sertifikat HGB untuk lahan seluas 656 hektare di wilayah perairan timur Sidoarjo. Ketika itu, lahan tersebut masih berupa tambak atau lahan yang berbatasan dengan daratan. Namun, abrasi laut mengakibatkan terjadi perubahan lahan menjadi perairan. Pemilik sertifikat HGB diketahui adalah pihak swasta lokal yang diduga telah menggunakan lahan untuk aktivitas tertentu, meskipun posisinya telah berada di laut. Sertifikat ini baru diketahui publik setelah muncul pemberitaan dan reaksi dari masyarakat sekitar awal 2025.
Isu ini semakin mencuat setelah dokumen HGB pada wilayah laut seluas 656 hektare diketahui memiliki dokumen yang dinilai janggal. Dalam hal ini masyarakat mempertanyakan mengenai kemungkinan lahan yang telah berubah fungsi menjadi laut masih layak diberikan HGB dan pertanyaan terkait prosedur penerbitan sertifikat yang dilakukan pada tahun 1996. Bahkan diduga pula bahwa pemegang sertifikat HGB telah menjadikan sertifikat HGB yang dimilikinya sebagai jaminan perbankan.
Plt Bupati Sidoarjo menyampaikan sekira satu bulan lalu ada pihak perusahaan pemegang HGB yang meminta rekomendasi perpanjangan masa berlaku HGB yang akan segera habis pada tahun 2026. Namun, pemintaan tersebut ditolak karena status lahan yang masih tumpang tindih dengan petani tambak dan pihak-pihak lain. Berdasarkan informasi yangd dikeluarkan pihak Kantor Wilayah ATR/BPN Jawa Timur, pemegang HGB seluas 656 hektare di laut Sidoarjo tertsebut adalah PT Surya Inti Permata dan PT Semeru Cemerlang.
Selain dua kasus tersebut, kasus keberadaan sertifikat HGB dan SHM di wilayah laut tersebar di berbagai daerah. Daerah-daerah tersebut di antaranya laut di kawasan Sumenep seluas 20 hektare di sepanjang laut Desa Gersik Putih. Luasan lahan tersebut berstatus hak milik atau SHM. Dalam keterangan Kepala Dinas Perikanan Sumenep, Agustino Sulasno, daerah tersebut berubah menjadi laut saat pasang dan berubah menjadi tanah saat surut. Selain Sumenep, suatu wilayah di Laut Makassar seluas 23 hektare pun memiliki surat HGB yang terbit pada 2015 dan dipegang oleh sebuah perusahaan.
Reaksi publik yang didominasi oleh ekspresi resah dan ketidakterimaan didasari oleh kekhawatiran bahwa wilayah perairan laut yang diberi HGB atau SHM dinilai berpotensi menghilangkan hak publik untuk mengakses wilayah tersebut. Sebagaimana dipahami dalam teori res communis bahwa laut merupakan common property atau milik bersama sehingga tidak dapat dikuasai atau dimiliki oleh individu. Dalam konteks hukum pertanahan, hal ini menandakan bahwa laut dan wilayah pesisir tertentu seharusnya tidak dapat diberikan status HGB atau SHM karena merupakan bagian tidak terpisahkan dari ruang publik dan sumber daya alam yang harus dikelola untuk kepentingan bersama.
Sementara itu pelekatan HGB dan SHM yang berimplikasi pada pemagaran dengan bambu seperti dalam kasus Laut Tangerang akan membuat mayarakat lokal terbatasi aktivitasnya, terutama kalangan nelayan yang menggantungkan penghidupannya pada laut. Selain itu, kekhawatiran yang mencakup dampak ekologis dan sosial ekonomi membuat isu ini menjadi topik perdebatan yang luas.
Persoalan HGB dan SHM di atas wilayah perairan laut mencakup banyak isu, dari ekologi hingga sosial ekonomi. Namun dalam kesempatan ini, pendiskusian akan difokuskan pada isu hukum dari persoalan tersebut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo, yang menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan persoalan tersebut yang terpenting adalah proses legalnya. Pernyataan tersebut secara implisit mendorong publik untuk mempelajari sendiri permasalahan ini.
Penerbitan HGB dan SHM di laut menimbulkan perdebatan karena berpotensi bertentangan dengan hukum agraria dan kelautan di Indonesia. secara konstitusional laut merupakan milik publik sebagaimana rumusan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut memiliki implikasi bahwa laut dan wilayah perairan bukan objek yang dapat diberikan hak kepemilikan individu atau badan hukum. Selain itu, negara hanya memberikan ijin pemanfaatan sumber daya laut, namun bukan hak atas tanah di wilayah perairan.
Menurut Maria S.W. Sumardjono, Guru Besar Hukum Agraria UGM, menjelaskan bahwa Pasal 33 UUD 2945 mengatur bahwa negara bukan pemilik, namun pengelola tanah dan sumber daya alam. Karena itu, negara hanya dapat memberikan hak pemanfaatan seperti ijin perikanan atau ijin reklamasi namun tidak dapat memberikan sertifikat kepemilikan atas laut.
Hal ini senada dengan pendapat Sofyan Djalil, mantan Menteri ATR/BPN era Pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, pernah berpendapat bahwa tanah yang kembali berubah menjadi laut tidak dapat dipertahankan lagi sertifikatnya sehingga secara hukum tanah tersebut kembali menjadi bagian dari domain negara.
Secara normatif Pasal 2 Peraturan Menteri ATR/KBPN Nomor 17 Tahun 2021 menegaskan bahwa hak pegelolaan dan/atau hak atas tanah hapus karena tanahnya musnah. Sebidang tanah dikatakan musnah jika memenuhi beberapa kriteria yaitu: a) Sudah berubah dari bentuk asalnya karena peristiwa alam; b)tidak dapat diidentifikasi lagi; dan c) tidak dapat difungsikan, digunakan dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Dalam beberapa kasus seperti Tangerang dan Sidoarjo, sertifikat hak atas tanah tetap berlaku bahkan dalam kasus Sidoarjo pihak pemegang hak atas tanah hendak memperpanjang penggunaan sertifikat tersebut sebagai jaminan perbankan. Hal ini berpotensi menjerat berbagai pihak dalam kasus maladministrasi pertanahan.
Lebih lanjut Pasal 16 UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) tidak mencantumkan hak atas perairan sebagai objek sertifikasi pertanahan. Namun Pasal 16 Ayat (2) dan Pasal 47 UUPA menyebut istilah hak guna air, namun ketentuan ini mencakup hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu diatas tanah orang lain, dan pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian tidak termasuk HGB atau SHM di atas laut.
HGB sendiri dapat diartikan sebagai hak untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah milik negara atau tanah yang dikuasai leh negara. Gunanya adalah untuk membangun dan mengelola bangunan di atasnya dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan SHM berkenaan dengan bukti kepemilikan yang sah atas suatu tanah dan memberikan hak yang penuh kepada pemilik.
Dalam kasus HGB di atas wilayah perairan laut, maka hal itu tidak sesuai dengan ketentuan bahwa HGB yang seharusnya berada di atas tanah negara. Sementara menurut Pasal 4 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 laut sendiri bukanlah tanah negara.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Rikardo Simamarta yang menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah di perairan dapat dilakukan sejauh pemberian hak atas tanah di perairan terkait penggunaan tanah di bawah air untuk kegiatan pembangunan pelabuhan, hotel dan berbagai fasilitas lainnya. Meski demikian ditambahkannya bahwa pemasangan pagar laut dalam kasus Laut Tangerang memerlukan penelahaan lebih jauh terkait dengan ijin Keseusian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
Bila pemasangan pagar tersebut dilakukan tanpa ijin KKPRL, maka dapat dipastikan bahwa tindakan tersebut bersifat ilegal. Demikian pula pendapat yang dikemukan oleh Nurhasan Ismail yang mengacu pada pengertian tanah dalam Pasal 1 Ayat (4) UUPA, bahwa tanah bukan hanya tanah yang terdapat di daratan, namun juga tanah yang berada di bawah permukaan air. Nurhasan secara tegas menyatakan bahwa hak atas tanah, termasuk pula HGB dan SHM dapat diperoleh untuk bagian tanah bawah air.
Pandangan yang mendukung dan menolak kemungkinan diperolehnya hak atas tanah pada wilayah perairan memiliki basis argumentasi hukum yang sama kuatnya. Penulis dalam hal ini menyetujui pandangan yang dikemukakan oleh Simamarta dan Nurhasan bahwa hak atas tanah berkemungkinan diperoleh pada tanah di bawah air sebagaimana Pasal 1 Ayat (4) UUPA.
Namun, meski demikian, oleh karena pemanfaatan tanah bawah air, terutama wilayah pesisir dan laut, maka pendaftaran hak tersebut harus melibatkan pula pertimbangan-pertimbangan kelautan sebagaimana diatur dalam PP No.27 Tahun 2021 dan berbagai regulasi lain yang berkenaan dengan kelautan.
Polemik terkait pemberian HGB dan SHM di berbagai wilayah perairan laut memunculkan pertanyaan hukum sebagaimana telah dielaborasi di atas. Keberadaan pagar laut dan SHM pada wilayah yang secara alamiah telah berubah menjadi laut dapat digolongkan sebagai tanah musnah yang menjadi sebab hilangnya hak atas tanag. Selain itu Pasal 16 UUPA juga tidak mencantumkan hak atas perairan sebagai objek ratifikasi.
Meski demikian terdapat pendapat yang menyatakan bahwa hak atas tanah dapat diberikan pada tanah di bawah air untuk kebutuhan tertentuan. Oleh karena terdapat perbedaan pandangan hukum tersebut, maka dibutuhkan kajian yang lebih mendalam mengenai penerbitan hak atas tanah di bawah air secara tegas oleh pemerintah bersama DPR.
Penulis: Dewa Putu Adi Wibawa, S.H.
Tinggalkan Balasan