DIKSIMERDEKA.COM, BADUNG, BALI – Kehadiran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di tengah-tengah kehidupan umat manusia setengah tahun ini, menuntut pola hidup yang baru (new normal). Pola hidup baru, seperti menjadi keniscayaan demi kelancaran dan kelangsungan hidup kita. Hal tersebut karena, karantina, isolasi, “lockdown” atau semacamnya, dinilai tidak akan sepenuhnya efektif untuk menyingkirkan virus ini.

Pada akhirnya, kita mau tidak mau harus menyadari dan menerima kenyataan bahwa kita harus hidup sama-sama berdampingan di bumi bersama mahluk tak kasat mata ini. Suka tidak suka kita harus beralih pada kondisi new normal, yakni pola hidup yang sadar dan peduli terhadap kesehatan, pola hidup yang menerapkan tata-tata aturan Protokol Kesehatan Pencegahan Covid-19.

Bagi dunia pariwisata, khususnya Bali, new normal ini sendiri menjadi pengharapan sekaligus tantangan. Seperti sektor-sektor usaha lainnya, agar terselamatkan dari badai kebangkrutan. Kehidupan pariwisata dengan new normal ini sendiri menurut Director Swaha Hospitality Bali, Ketut Swabawa, CHA., merupakan tahapan yang biasa, sedangkan yang luar biasa menurutnya adalah objek yang harus diperhatikan dalam perubahan tersebut.

Swabawa menjelaskan kalimatnya tersebut dengan mengulas balik kejadian di Bali sebelumnya, misalnya ketika bom Bali pada 2002 dan 2005 lalu dimana akhirnya mendorong industri berbagai sektor menerapkan sistem pengamanan terpadu. Bahkan di industri perhotelan melakukan sertifikasi manajemen pengamanan hotel setelah kejadian tersebut.

Sebagai proses sertifikasi tentunya ada standar baru yang harus diterapkan dan itu yang dinilai oleh para auditor yang terdiri dari unsur kepolisian, asosiasi, pemerintah dan tenaga ahli perhotelan. Itu juga kondisi new normal pada saat itu, yang akhirnya menjadikan itu sebagai hal biasa yang memang dianggap perlu oleh kalangan perhotelan.

Baca juga :  IHGMA Bali Peringati Proklamasi Kemerdekaan RI dalam Merah Putih

“Hal ini perlu kita ingatkan kembali agar wacana New Normal ini tidak dianggap sebagai beban atau ancaman bagi industri bisnis. Bahaya psikosomatik bisa mempengaruhi upaya pelaku menuju kesiapan mental menghadapi perubahan kedepannya. Jadi, wajib dipahami dulu kondisinya sebelum menginjak ke arah yang substantif poin pada kondisi mendatang” jelas Swabawa yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPD IHGMA Bali ini, di Tuban, Kuta, Badung, Senin (25/5).

Dalam menyongsong kondisi ini, paparnya lebih lanjut, hal yang perlu diperhatikan bagi hotelier (pelaku profesi manajemen hotel) dalam menyikapi kondisi baru dalam operasional kedepannya adalah cukup sederhana dengan menyandingkan standar prosedur operasional dengan relevansinya pada standar kesehatan lingkungan yang diatur dari pihak terkait misalnya Dinas Kesehatan atau Kementerian Kesehatan.

Ada 3 hal pokok yang mesti diperhatikan dari segi kesehatan lingkungan di dunia perhotelan, yaitu : 1). Standar Kebersihan yang ditingkatkan ke arah higienis dan sanitasi (Hygiene and Sanitation Standard) ; 2). Pola Sentuhan dan pengaturan jarak antar manusia (Touch Point and Physical Distancing); dan 3). Penggunaan alat pengaman diri (Personal Protective Equipment / PPE).

Ketiga  hal tersebut dikembangkan sesuai area atau fasilitas hotel, ukuran dan karakter hotel, konsep operasional dan manajemen hotel serta hal lainnya sehingga memunculkan temuan terhadap bagaimana cara mengerjakannya, apa saja peralatan atau barang yang perlu ditambahkan atau diganti, jumlah orang yang akan dipekerjakan dan deskripsi tugasnya serta terakhir berapa angka yang muncul sebagai anggaran atas perubahan standar tersebut.

“Semua hal tersebut dibahas secara detail sampai akhirnya lahir SOP (prosedur operasional standar) yang mengandung konsep new normal. “Jangan lupa bahwa konsep tersebut harus menjawab 2 hal minimum, yaitu : apa keluhan/ ancaman selama pandemi ini dan apa tuntutan yang menjadi kebutuhan pelanggan kedepannya? Setelah itu mulai dengan orientasi dan training kepada seluruh elemen karyawan hingga level terbawah” jelas Swabawa.

Baca juga :  IHGMA Bali Peringati Proklamasi Kemerdekaan RI dalam Merah Putih

Hal lain yang juga dapat menjadi tantangan bagi industri hotel dalam menyongsong new normal tersebut adalah dari faktor eksternal. Dicontohkannya mitra kerja seperti transportasi dari luar, supplier barang dan bahan makanan, atau lainnya. Semua pihak tersebut juga harus mendukung upaya hotel dengan mempertimbangkan “touch point” yang pasti terjadi ketika serah terima dan penanganan barang-barang yang akan dikirim ke hotel.

“Pada divisi keuangan juga akan terjadi perubahan struktur biaya, contohnya pada kebutuhan chemical (cairan pembersih) untuk daily cleaning yang nantinya wajib mengandung desinfektan untuk mencapai level kebersihan yang higienis dan sanitasi. Terkait pembiayaan ini Swabawa menjelaskan bahwa biaya operasional otomatis akan naik karena harga barang dengan spesifikasi lebih tinggi cenderung akan lebih tinggi daripada regular product,” paparnya.

“Kenaikan bisa berkisar 10-18% , semoga tidak lebih dari segitu agar kita tidak terlalu tinggi menaikkan harga kamar nantinya. Kenaikan biaya operasional lainnya akan dirasakan secara percentage selain dari segi nominal rupiah. Kita lihat meeting package yang biasanya 1 venue bisa hosting 100 pax kedepannya akan berkurang daya tampung pesertanya sehingga cost percentage dari paket meeting itu akan lebih tinggi,” tuturnya.

“Karena selain biaya makan yang variabel mengikuti jumlah pax, ada biaya fixed lainnya dimasukkan ke dalam harga tersebut seperti sewa peralatan, biaya listrik (AC, lampu) serta lainnya,” imbuhnya.

Di balik semua itu, Swabawa melihat kondisi new normal ini akan dapat menjadi bagian dari proses akselerasi menuju quality tourism. Bahwa hal ini hendaknya ditransformasikan sebagai peluang untuk mewujudkan pariwisata yang berkualitas. Sumber Daya Manusia menjadi lebih baik karena diperkaya dengan pengetahuan dan wawasan kesehatan baik untuk dirinya, keluarga dan lingkungannya selain di area hotel saja.

Baca juga :  IHGMA Bali Peringati Proklamasi Kemerdekaan RI dalam Merah Putih

Pola hidup sehat yang menjadi budaya walaupun terkesan dipaksakan, namun itu sudah menjadi kebutuhan personal bagi setiap orang kedepannya. Artinya, harga kamar yang meningkat nantinya akan diasumsikan dengan kualitas produk yang membaik.

Lalu, mampukah hotel berkomitmen secara konsisten dengan apa yang telah dipersiapkan sebagai konsep new normal di operasionalnya? Untuk hal ini, Swabawa kembali menjelaskannya dengan objektivitas dalam mengelola hubungan dengan pelanggan.

“Jadi begini, jauh sebelum COVID-19 ini semua manajemen bisnis perusahaan menerapkan yang namanya Customer Relationship Management, dimana golnya adalah the highest customer satisfaction (kepuasan pelanggan). Langkahnya dimulai dari project positive attitude, understand the product, identify customer type and needs, deliver services, analyze the result dan terakhir improvement relations,” sebutnya.

Oleh karena itu menurutnya, tidak ada alasan bagi hotel untuk tidak konsisten pada komitmennya untuk menampilkan new normal of hotel operations jika ingin terus ada, sebagaimana yang telah menjadi bagian dari tuntutan perubahan zaman.

“Artinya saat ini perusahaan harus siapkan dulu sisi internalnya agar bisa memenuhi sisi eksternal yang ada pada diri konsumen. Hal ini perlu dilakukan terus menerus jika ingin tetap ada. Konsumen adalah raja. Artinya mereka yang bayar pekerjaan kita. Sebagai raja dalam arti yang patut dihormati dan dilayani secara profesional. Welcome to New Normal !,” tandas Swabawa, pemegang predikat Double Diamond dalam Certified Hotel Administrator dari American Hotel and Lodging Educational Institute (AHLEI), USA sejak 2014 lalu ini. (*/nai)