Teras Dialog: Quo Vadis Demokrasi Kita, Kritik Otokritik Terhadap Pemilu 2019
DIKSIMERDEKA.COM, DENPASAR-BALI – Tensi politik antara kelompok pendukung pasangan calon presiden dan elit politik pada Pemilu 2019 yang lalu nampaknya belum sepenuhnya reda. Bahkan bila dicermati, mendekati momen pelantikan Presiden terpilih pada 20 Oktober nanti, nampaknya suasana politik di negeri kita kembali memanas.
Salah satunya saat mahasiswa menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di Jakarta dan di berbagai daerah di Indonesia untuk menolak point-point yang ada dalam Rancangan Kitab Hukum Undang-undang Pidana (RKUHP) pada Kamis (24/9) lalu, yang sampai menimbulkan korban jiwa, yakni 2 mahasiswa di Kendari.
Bukan hanya mahasiswa, aksi protes kali ini menjadi unik dan menarik lantaran massa pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK/ dulunya STM) juga turut serta turun aksi bersama massa mahasiswa. Bahkan sempat viral di berbagai media sosial hashtag “#maaf bang kami telat, karena masih harus sekolah dulu,”
Hashtag tersebut bermakna massa pelajar tersebut mengatakan kepada massa mahasiswa bahwa mereka terlambat datang aksi karena harus masuk sekolah terlebih dahulu. Hashtag ini pun beredar luas, dan sempat trending di berbagai media massa maupun media sosial, berbagai komentar pun bermunculan, ada yang mengapresiasi ada yang mencaci maki.
Banyak pihak yang menuding aksi ini ditunggangi oleh elit-elit politik dengan berbagai kepentingan politiknya. Namun banyak juga yang mendukung karena suara mahasiswa adalah suara rakyat dan mahasiswa adalah penyambung lidah rakyat untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi rakyat.
Terlepas dari berbagai tudingan miring tersebut, suara kritis mahasiswa tetap harus dijaga dan dipertahankan. Sejarah bangsa ini mencatat bahwa perubahan-perubahan penting bangsa ini tidak lepas dari andil gerakan mahasiswa yang kritis. Demikian salah satunya terungkap dalam diskusi Teras Dialog yang diinisiasi oleh YYDiaz Center, pada Sabtu (28/9) malam, di Warung Sang Dewi, Renon, Denpasar.
“Biasa lah itu (aksi demonstrasi mahasiswa, red) kan memang mahasiswa sudah seharusnya seperti itu, mengkritisi dan menyuarakan kepentingan masyarakat salah satunya melalui aksi-aksi demonstrasi,” ujar Putu Suasta, salah satu pembicara dalam diskusi Teras Dialog tersebut.
Terkait tudingan aksi mahasiswa tersebut ada pihak yang menunggangi, menurut Putu Suasta, yang dulunya juga pernah menjadi aktivis mahasiswa, mengatakan, menurutnya itu merupakan hal yang biasa dan sangat mungkin terjadi. Terlebih di dalam situasi yang sangat dinamis, menjelang pelantikan Presiden dan pembentukan kabinet pemerintahan yang baru.
“Mungkin, mungkin ada seperti itu juga. Orang main (menunggangi aksi mahasiswa, red) lah ini, main untuk mencari porsi-porsi yang ada dalam sistem pemerintahan yang baru nanti. Kan itu orang mau meningkatkan daya tawar terhadap presiden, dalam membentuk kabinet,” ungkapnya.
Namun demikian menurutnya, gerakan aksi mahasiswa tetap harus ada sebagai fungsi kritik dan kontrol terhadap pemerintah. Kepekaan sosial dan nalar kritis mahasiswa harus tetap dipelihara. Hanya saja dia berpesan, agar gerakan mahasiswa ini harus lebih jeli dalam memahami persoalan, harus tepat sasaran.
“Ya mahasiswa harus banyak baca buku, harus memahami permasalahan supaya tepat sasaran, ‘nendangnya’ tepat kenanya. Biar kalau mau ‘nendang kaki’, bukan jidat orang kita tendang, orang marah gitu kan ya. Artinya mahasiswa harus benar-benar memahami masalah, kalau dulu kita berton-ton baca buku tidak satu dua,” tuturnya seraya mengisahkan pengalamannya.
Selain Putu Suasta, dua pembicara lainnya yang turut hadir dalam Dialog tersebut yakni, Agus Samijaya dan Made Arka, yang juga sama-sama dulunya adalah aktivis mahasiswa. Namun saat ini Agus lebih sibuk dengan profesinya sebagai advokat dan akademisi. Sementara Made Arka selain sebagai dosen di Universitas Warmadewa, ia juga aktif di berbagai organisasi.
Dalam dialog tersebut, Agus Samijaya mengungkapkan kondisi politik yang terjadi hari ini adalah akibat dari sistem demokrasi kita yang belum partisipatif. Artinya, sistem demokrasi kita belum melibatkan masyarakat secara luas dalam perumusan-perumusan kebijakan. Menurutnya, banyak kebijakan yang diambil oleh legislatif maupun eksekutif yang tidak in line dengan kebutuhan masyarakat di bawah.
“Kita sebenarnya sampai saat ini belum memiliki blue print sistem demokrasi. Demokrasi perlu perubahan-perubahan, bukan hanya ekonomi tapi demokrasi juga perlu disruption. Selama ini tidak nyambung apa kehendak legislatif, eksekutif dengan apa yg dikehendaki masyarakat. Perlu dicarikan formulanya,” ujarnya.
“Selain Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif ada satu pilar lagi sebenarnya yakni Elektoral yaitu masyarakat. Sekarang bagaimana kita bisa memberi ruang lebih luas pada pilar yang keempat yaitu Elektoral. Bagaimana kita bisa merubah Demokrasi kita menjadi demokrasi partisipatif,” tegasnya.
Sementara itu, Made Arka pada kesempatan tersebut mengatakan terkait aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa merupakan salah satu bentuk perwujudan dari sistem demokrasi kita, dan penting untuk menjaga sistem demokrasi tersebut.
Namun demikian menurutnya aksi-aksi demonstrasi tersebut harus dilakukan dengan tepat, agar jangan sampai mengganggu ketertiban umum, dan merusak fasilitas umum.
“Demonstrasi penting bagi demokrasi, tapi harus tepat juga, dan dan jangan sampai merusak fasilitas umum, dan mengganggu ketertiban umum,” ujarnya.
Yosep Yulius Diaz, founder dari YYDiaz Center dan penggagas Teras Dialog, saat ditemui usai acara dialog tersebut mengatakan sudah saatnya bangsa kita ini move on dan berhenti untuk saling menghujat dan membuli.
Pemilu sudah usai, sudah tidak ada lagi pendukung pasangan calon Pereaiden dan Wakil Presiden No 01 dan 02, sekarang semuanya harus sama-sama menjadi pendukung 03, yaitu Sila ke-3 Pancasila, Persatuan Indonesia, tegasnya.
Teraz Dialog ini sendiri rencananya akan tetap berlanjut, sempat muncul anggapan diawal, Teras Dialog ini diselenggarakan hanya karena ada Pemilu kemarin, namun Yusdi, panggilan akrab Yosep Yulius Diaz mengatakan akan tetap menyelenggarakan kegiatan ini setiap kali ada momentum dan kesempatan, guna memberikan pencerahan dan menyuarakan perdamaian kepada masyarakat untuk memperkuat imatan Kebhinekaan kita.
Dan, kesimpulan dialog terkait dengan tema yang diangkat, yaitu “Quo Vadis Demokrasi Kita, Kritik Otokritik Pemilu 2019” yang dibacakan oleh Valerian Libert Wangge, ketua YYDiaz Center sekaligus selaku moderator dalam dialog tersebut bahwa masih ada titik cerah untuk demokrasi kita, dengan masih adanya ruang-ruang dialog yang dapat dilakukan, serta partisipasi masyarakat dalam demokrasi harus lebih diperluas lagi, tidak hanya bertumpu pada Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Aspek Elektoral yaitu masyarakat harua diperkuat dengan mendorong dan melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses perumusan berbagai kebijakan-kebijakan yang strategis. (adhy)
Tinggalkan Balasan