Tata niaga Singkong dan Kesejahteraan Petaninya
Oleh : Dasrul Aswin (Ketua Umum Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia)
Beberapa bulan ini persoalan singkong dan petaninya bergeliat di Lampung. Lampung sebagai daerah penghasil 30% singkong nasional. Gejolak para petani terkait harga beli hasil panen singkong, membuka mata kita semua bahwa ada persoalan rantai tata niaga yang tidak berpihak pada petani.
Sejarah komoditi singkong di lampung cukup panjang bahkan pemerintah provinsi lampung di medio 90-an sempat menggulirkan program ITARA (Industri TApioka RAkyat). Program ini sejatinya adalah bagaimana singkong bisa menjadi basis industri rakyat yang pada akhirnya petani singkong bisa lebih sejahtera.
Harapan ini menguap seiring semakin meluasnya luasan tanaman singkong di lampung pada akhir 2024 yang mendekati hampir 300.000 hektar dengan kapasitas panen 7-8 juta ton pertahun.
Sejak program ITARA digelorakan seharusnya mendorong semua hasil panen petani bisa di proses langsung di pusat-pusat industri tapioka pada saat itu. Sehingga terjadi kemitraan strategis antara petani dan pusat industri pengolahan.
Kemitraan yang bersifat kolaboratif dalam rantai tata niaga sejatinya akan mendorong komunikasi kordinasi yang produktif dalam menjaga keberlangsungan industri dan tata kelola tanam singkong.
Perjalanan perjuangan para petani singkong lampung dalam 1-3 bulan ini sejatinya adalah memperjuangkan dan mendukung program pemerintahan Prabowo-Gibran terkait pangan, hilirisasi dan kemandirian rakyat.
Petani dan pelaku industri singkong harus dilihat sebagai satu kesatuan rantai tata niaga yg kolaboratif produktif dalam menjaga tata niaga komoditi singkong. Terlebih lampung adalah penghasil terbesar singkong di indonesia.
Semangat kolaboratif itu semakin nampak saat rapat bersama antara pelaku industri singkong, petani dan kementan pada tanggal 31 Januari 2025. Disana jelas bahwa dua pihak ini (industri-petani) butuh jembatan yang bisa memaksimalkan kemitraan strategis keduanya. Jembatan itu adalah kehadiran negara dalam mengatur tata niaga yang kolaboratif, produktif inovatif dan simbiosis mutualisme.
Kita bisa lihat bagaimana disisi pelaku industri juga ada persoalan diantaranya bagaimana mereka juga tidak bisa melawan saat ada kebijakan import tapioka. Dan juga kesulitan mereka jika pabrik tidak mendapatkan pasokan bahan baku singkong. Kepastian bagi pihak mereka jadi keniscayaan dalam menjalankan usahanya.
Dus persoalan di sisi petani yang semua kita tahu dari soal harga jual singkong mereka, soal transparansi, jeratan financial. Para petani yang di dominasi oleh PPUKI (Persatuan Petani Ubi Kayu Indonesia) ini dalam beberapa pointnya juga menginginkan perubahan rantai tata niaga yang saling menguntungkan.
PPUKI menjelaskan bahwa perubahan mindset petani dalam mendorong kemitraan strategis bersama pelaku usaha harus mampu dijembatani oleh negara cq pemerintah. Sehingga kepastian manfaat ekonomi yang berkelanjutan dapat dirasakan oleh para petani dan pelaku industri singkong.
Jika kita melihat langkah pemerintahan Prabowo Gibran dalam mendorong program 3 juta rumah secara regulasi lahir SKB 3 menteri terkait keringanan biaya pajak perijinan perumahan.
Jika kita kaitkan dengan masalah singkong ini maka kami melihat ada peluang pemerintah menjadi jembatan untuk perbaikan rantai tata niaga singkong dengan melahirkan SKB 3 mentri terkait.
SKB 3 mentri ( pertanian, perdagangan, perindustrian) menjadi sebuah keniscayaan dalam mendorong percepatan program ketahanan pangan, hilirisasi dan kepastian hukum ekonominya.
Dengan adanya SKB 3 mentri ini PPUKI meminta komisi VI DPR RI mewujudkan aspirasi kami ini. SKB 3 mentri setidaknya berisi hal berikut :
- Pengaturan rantai tata niaga singkong yang baru. Sehingga pelaku industri dan petani bisa menjadi satu rantai yang kolaboratif
- Hilangkan sekat sekat komunikasi antara pelaku industri dengan petani.
- Petani mendapatkan kepastian hasil panen dari pelaku industri
- Pelaku industri mendapatkan kepastian pasokan
- Ketegasan pemerintah dalam menjaga rantai tata niaga ini agar tidak menimbulkan cost add. Yang menurunkan daya saing produk singkong petani dan hasil industrinya.
- Mendorong inovasi hasil tanam bagi para petani bersama pemerintah dalam tata kelola tanam-lahan.
Kepastian regulasi dalam bentuk SKB 3 MENTRI ini PPUKI menilai akan membantu kesejahteraan petani dalam jangka panjang. Tercipta hilirisasi, kemandirian pangan sesuai program prabowo gibran.
Apa yang terjadi di lapangan soal rantai tata niaga singkong dari tahun ke tahun ini sebenarnya bisa teratasi dengan adanya intervensi langsung negara melalui kepanjangan tangan pemerintah daerah khususnya Pemerintah Provinsi Lampung. Hadirnya negara dalam hal ini Pemerintah Provinsi adalah untuk memastikan tata niaga singkong berjalan dengan tertib sehingga tercipta kolaborasi yang produktif antara petani dan industri.
Pemerintah Provinsi harus bisa menjadi jembatan yang kokoh dalam menopang kolaborasi petani dan industri ini.
Birokrasi pemerintah yang mampu menjangkau sampai tingkat bawah menjadi sarana yang efektif dalam menjalankan Pembinanaan dan Pendampingan kepada para petani khususnya agar terlaksana sistem tata niaga singkong yang kolaboratif-produktif.
Hal ini menjadi sangat penting karena selain memastikan harga pasca panen adalah juga soal bagaimana kehadiran pemerintah berikut dengan kebijakannya menjadi pengawal keberlangsungan tata niaga singkong dari awal masa tanam sampai masa panen sehingga baik petani dan industri memperoleh hasil sesuai harapan masing-masing.
Dalam hal ini juga kami punya gagasan lain bagaimana tata niaga singkong tidak hanya bergantung pada satu produk (tapioka) saja, melainkan bisa di olah menjadi produk turunan lain tentunya dengan melalui kajian kalkulasi hitungan bisnis yang juga lumayan menguntungkan.
Kenapa harus ada inovasi dan terobosan?
Karena produk turunan dari hasil olahan singkong sendiri banyak di butuhkan oleh industri sebagai bahan baku utama atau campuran dan tidak kalah menjanjikan juga nilai bisnisnya. Di Lampung saja, banyak industri yang menggunakan sebagai bahan baku utama atau campuran. Atau seperti gagasan kami misalnya, yang ingin bekerjasama dengan Pemerintah nantinya membangun Industri sendiri dengan menggunakan singkong sebagai bahan baku utama produksi.
Keinginan kami tersebut dapat tecipta manakala ada jaminan aturan yang kuat dan mengikat dari pemerintah baik daerah maupun pusat bagi para pelaku industri khususnya tata niaga singkong.
Dalam hal ini kemudian kami menganggap sangat penting terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Mentri (Pertanian, Perindustrian, Perdagangan) dengan beberapa point yang kami sebutkan di atas sebelumnya.
Untuk itulah kenapa kami berpandangan bahwa negara dalam hal ini pemerintah daerah harus ikut andil dan juga punya kemauan kuat bagaimana menciptakan rantai tata niaga singkong dapat berjalan tertib, berkesinambungan, berkelanjutan bagi para pelaku industri dan pertanian lokal di Lampung khususnya.
Hal ini tentu sangat selaras dengan program yang di inginkan oleh Bapak Presiden Prabowo yaitu hilirisasi, ketahan pangan, dan penguatan pertanian lokal.
Editor: Agus Pebriana
Tinggalkan Balasan