Sidang pembacaan putusan kasus Korupsi Dana Rumbing Disparbud Jembrana. (Foto: ist)

DIKSIMERDEKA.COM, DENPASAR, BALI – Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Kadisparbud) Kabupaten Kembrana Nengah Alit, meski tidak ikut menerima dana atau menikmati keuntungan dalam kasus Korupsi Dana Rumbing (hiasan kepala kerbau pacuan) di Disparbud Jembrana, majelis hakim Tipikor Denpasar memvonisnya dengan 4.6 tahun penjara dan denda Rp 50 juta.

Amar putusan tersebut dibacakan majelis hakim Tipikor pimpinan Heriyanti dalam sidang yang digelar secara daring di Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa, 30 November 2021.

Dalam pokok-pokok pertimbangan putusan tersebut, Nengah Alit dinyatakan tidak terbukti ikut menerima dana atau menikmati keuntungan dari program pengadaan rumbing yang realisasinya menyimpang menjadi hanya servis. Namun, Kadisparbud Jembrana non aktif itu dinyatakan terbukti ikut bersalah menyebabkan terjadinya korupsi tersebut.

Terhadap putusan majelis hakim tersebut, terdakwa melalui penasihat hukumnya mengajukan banding. “Terkait putusan ini kami akan melakukan upaya hukum banding,” ucap Gede Ngurah selaku penasihat hukum terdakwa. Di sisi lain, Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Wayan Yuda Satria menyatakan masih pikir-pikir.

Selain Nengah Alit yang ditetapkan sebagai terdakwa, juga ada seorang perantara atau warga biasa yakni I Ketut Kurnia Artawan alias Celongoh (terdakwa dalam berkas terpisah).

Celongoh merupakan perantara dari almarhum Putu Sutardi, Kepala Bidang Kebudayaan Disparbud Jembrana selaku KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) yang meninggal saat proses masih dalam penyidikan. 

Almarhum Putu N Sutardi selaku KPA bersama Putu Adi Arianto selaku PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) mengatur kegiatan pengadaan rumbing yang realisasinya menyimpang menjadi hanya servis rumbing.

Dan, Ketut Kurnia alias Celongoh yang berperan membagikan uang servis itu kepada dua kelompok kerbau pacu yakni Ijo Gading blok barat dan timur. Di mana dana yang digunakan untuk servis rumbing dua kelompok itu hanya Rp 12 juta dari anggaran pengadaan Rp 300 juta.

Sisanya, uang hasil korupsi kemudian dibagi-bagi di antara kedua kelompok dan pihak rekanan yakni CV Laut Biru dan CV Putra Cahaya Dewata. Kedua CV tersebut digunakan sebagai penyangga pencairan dana, yang mana atas perannya tersebut kedua CV diberi bagian masing-masing Rp 9 juta.

Maka atas fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan itu, majelis hakim juga dalam amar putusannya meminta kepada jaksa agar memeriksa lebih lanjut PPTK sebagai pengendali teknis pelaksanaan kontrak kerja, dan CV Laut Biru dan CV Putra Cahaya Dewata selaku penerima kontrak kerja. (Tim)