DIKSIMERDEKA.COM, DENPASAR, BALI – Dampak penutupan objek pariwisata yang diikuti dengan penutupan operasional hotel dan akomodasi pariwisata lainnya, akibat wabah Virus Corona (Covid-19) mulai dirasakan oleh sektor usaha penunjang, salah satunya pengusaha produksi daging Ayam Potong (Ayam Broiler) di Bali.

Selain itu, pembatasan jam operasional pasar, baik tradisional maupun modern, juga dirasa membuat nasib para peternak, khususnya yang tergabung dalam Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Broiler Bali mulai semakin mengkhawatirkan.

Bagaimana tidak, permintaan daging yang biasanya 180.000 – 200.000 ekor/ hari kini tersisa hanya 60.000 ekor/hari (40%). Terjadi penurunan yang sangat signifikan (60%). Belum lagi harga jual yang terbanting, hanya 12.000/ kg.

Demikian diungkapkan oleh Ketua Asosiasi Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Broiler Bali, I Ketut Yahya Kurniadi, pada Sabtu, 4 April 2020.

Ketua Asosiasi Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Broiler Bali, I Ketut Yahya Kurniadi.

“Serapan ayam saat ini hanya 40% (sekitar 60.000 ekor/hari) yang biasa normalnya 180.000-200.000 ekor/ hari. Pembatasan pembukaan pasar tradisional dan warung-warung ini sangat terasa efek terhadap serapan daging ayam yang menjadi sumber protein masyarakat,” ungkapnya.

“Belum lagi harga jual di peternak yang sangat terpuruk, bahkan di bawah harga pokok produksi (HPP, red). HPP kita saja di angka Rp 19.500, Mas, sedangkan harga jual per hari ini (Sabtu 4/4) itu hanya Rp 12.000. Mau jadi apa kami ini,” keluhnya.

Selain akibat penutupan operasional akomodasi wisata dan pembatasan jam buka pasar, Ketut Yahya mengatakan kondisi ini juga semakin diperparah dengan masuknya daging dari luar Bali, padahal menurutnya, kualitasnya pun tidak tidak lebih baik.

Meski ia memaklumi, dampak dari wabah Covid-19 ini juga memukul peternak Ayam Broiler di daerah lain, namun menurutnya, Pemerintah Bali seyogyanya dapat melindungi nasib peternak lokal yang ada di Bali, karena stok sangat melimpah, jadi tidak perlu pasokan dari luar.

Di dalam Asosiasi Pinsar sendiri, terang Ketut Yahya lebih lanjut, terhimpun sebanyak 25 perusahaan peternak dan 35 orang peternak mandiri dengan serapan tenaga kerja sekitar 1.200-an orang yang yang menggantungkan hidupnya secara langsung di sektor ini, terbanyak ada di Tabanan, Jembrana, Klungkung dan Karangasem.

Terkait kondisi ini Ketut Yahya berharap kepada pemerintah, baik Kabupaten/Kota maupun Provinsi, agar dapat mengevaluasi kebijakan pembatasan jam operasional pasar, baik tradisional dan modern.

Karena menurutnya, kebijakan tersebut justru kontra produktif (bertentangan) dengan tujuan dilakukannya pembatasan, yakni masyarakat justru menumpuk di pasar, bersamaan pada jam yang telah dibatasi, untuk membeli bahan-bahan pokok sehari-hari.

“Kami dari asosiasi berharap beberapa hal kepada pemerintah, pertama, meninjau kembali kebijakan untuk jam buka pasar tradisional. Tujuannya kan social dan physical distancing (pembatasan jarak dan sosial), tapi justru kami melihat, ini membuat terjadi penumpukan pembeli di pasar,” ungkapnya.

Menurutnya, bila jam buka diperpanjang, misal dari pukul 7 sampai dengan 4 sore, akan memberi peluang masyarakat untuk tidak sampai berkerumun ke pasar, dan hal ini dapat memberi peluang, pedagang daging, sayur, dan kebutuhan pokok lain, dapat beraktivitas dengan tenang.

Kedua, ia berharap Pemerintah dapat segera menyikapi maraknya daging dari luar Bali (terutama Jawa) dengan kualitas yang tidak baik masuk ke Bali. “Kami berharap Pemerintah dapat berkoordinasi dengan Karantina Gilimanuk dan Satgas Pangan, agar melakukan monitoring dan sidak,” harapnya.

Dengan demikian, menurutnya, pasokan daging Ayam Broiler hasil produksi peternak lokal di Bali akan dapat terserap secara maksimal di tengah kondisi seperti saat ini, sehingga para peternak, dan ribuan masyarakat Bali yang menggantungkan hidup di sektor ini dapat terselamatkan. (Adhy)