DIKSIMERDEKA.COM, JAKARTA, Presiden Joko Widodo mengajak seluruh pihak terkait untuk mereformasi aturan dan perundang-undangan yang dirasa menyulitkan masyarakat dan menghambat inovasi. Di era perubahan global sekarang ini, bangsa Indonesia sangat memerlukan regulasi yang sederhana, konsisten, dan mendorong munculnya inovasi-inovasi baru.

Demikian disampaikan Presiden saat menyampaikan pidato kenegaraan dalam rangka HUT ke-74 Kemerdekaan Republik Indonesia, pada Sidang Bersama DPD RI dan DPR RI, di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Jumat, 16 Agustus 2019.

“Kita harus terus melakukan debirokratisasi, penyederhanaan kerja, penyederhanaan proses yang berorientasi pada pelayanan. Kita harus terus mencegah korupsi tanpa mengganggu keberanian berinovasi. Kita harus memanfaatkan teknologi yang membuat yang sulit menjadi mudah dan yang rumit menjadi sederhana,” ujarnya.

Pemerintah pusat, pemerintah daerah, MPR, DPR, DPD, dan DPRD diminta oleh Presiden untuk bersama melakukan langkah-langkah baru mereformasi dan menyederhanakan regulasi di Indonesia. Menurutnya, bangsa Indonesia tak boleh terjebak pada regulasi yang kaku yang justru menghambat gerak diri sendiri.

“Kita tidak bisa membiarkan regulasi yang menjebak kita, yang menakut-nakuti kita, yang justru menghambat inovasi. Ini yang harus dibongkar. Dibongkar sampai ke akar-akarnya. Regulasi yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman harus dihapus. Sekali lagi harus dihapus,” ucap Presiden.

Namun, di saat yang sama, Presiden mengatakan bahwa negara kita juga harus mampu melihat ke depan dengan tanggap terhadap tantangan baru yang belum diatur dalam regulasi atau perundang-undangan. Pemanfaatan teknologi yang merusak keadaban bangsa, membahayakan persatuan dan kesatuan serta demokrasi harus diatur secara terukur dan tanpa kompromi.

“Kita harus siaga menghadapi ancaman kejahatan siber termasuk kejahatan penyalahgunaan data karena data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita. Kini data lebih berharga dari minyak. Karena itu kedaulatan data harus diwujudkan. Hak warga negara atas data pribadi harus dilindungi. Regulasinya harus segera disiapkan. Tidak boleh ada kompromi,” tegasnya.

Kepala Negara menggarisbawahi bahwa segala upaya reformasi tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Regulasi baru yang nantinya dimunculkan harus mempermudah rakyat dan negara dalam menggapai cita-citanya.

“Regulasi harus mempermudah rakyat mencapai cita-citanya. Regulasi harus memberikan rasa aman dan regulasi harus memudahkan semua orang untuk berbuat baik, mendorong semua pihak untuk berinovasi menuju Indonesia maju dan sejahtera,” tutur Presiden.

Oleh karenanya, Presiden melanjutkan, diperlukan pula perubahan paradigma pengukuran kinerja para pembuat peraturan perundang-undangan. Kinerja mereka sudah selayaknya tak lagi dinilai berdasarkan seberapa banyak regulasi yang dihasilkan, melainkan sejauh mana kepentingan rakyat dan negara dapat dilindungi.

“Bukan diukur dari seberapa banyak Undang-Undang, PP, Permen, ataupun Perda yang dibuat. Tetapi sejauh mana kepentingan rakyat, kepentingan negara, dan kepentingan bangsa bisa dilindungi,” ucapnya.

“Saya mengingatkan jajaran eksekutif agar lebih efisien. Untuk apa studi banding jauh-jauh sampai ke luar negeri padahal informasi yang kita butuhkan bisa diperoleh dari smartphone kita. Mau ke Amerika di sini (smartphone) komplet ada semuanya. Mau ke Rusia di sini juga ada semuanya. Mau ke Jerman di sini juga ada semuanya. Dan saya kira ini juga relevan untuk bapak dan ibu anggota Dewan,” imbuh Presiden.

Selain itu, perubahan paradigma serupa juga berlaku bagi para penegak hukum dan HAM serta pemberantasan korupsi. Segala bentuk penegakan hukum dan HAM yang baik haruslah didukung. Namun, kinerja para penegak hukum jangan hanya dilihat dari seberapa banyak kasus yang dapat diselesaikan, melainkan seberapa jauh potensi pelanggaran hukum dan HAM di masa mendatang dapat dicegah.

“Keberhasilan para penegak hukum bukan hanya diukur dari berapa kasus yang diangkat dan bukan hanya berapa orang yang dipenjarakan. Bukan itu. Tetapi harus juga diukur dari berapa potensi pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM yang bisa dicegah, berapa potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan. Ini perlu kita garis bawahi,” tandasnya. (*/imo-indonesia)